Malika memilih utnuk bangun lebih siang, karena memang hari ini Malika mendapat sift siang. Malika masih berbaring santai di atas kasur tipis yang menjadi tempat tidurnya, “apa tidak usah sarapan ya?” tanya Malika kepada diri sendiri. Matanya menatap langit-langit kamar kosannya.
Dari luar terdengar suara-suara tawa dan obrolan-obrolan beberapa orang, yang Malika ketahui milik para penghuni kos yang memang suka bergosip di pagi hari. Dulu sebelum kejadian pembunuhan Sarah, Malika dan Sarah suka ikut nimbrung bersama. Mereka akan membahas tentang para tetangga laki-laki yang menurut mereka ganteng, atau mungkin akan mebahas pekerjaan masing-masing.
“Mungkin aku tidak akan menemukan saat-saat seperti itu lagi,” ujar Malika pelan. Malika menarik napasnya dalam, belakangan ini Malika merasa lelah dan tertekan. Terbesit dibenaknya untuk mengikuti kedua orang tuanya, karena bagi Malika tidak ada lagi alasan untuknya tetap bertahan hidup. Tetapi, Malika sadar. Bahwa masih ada Arthur yang membutuhkannya, walaupun itu hanya untuk mendapatkan harta warisan.
Lain halnya dengan Arthur yang sudah duduk di kursi di ruang kerjanya. Pagi-pagi sekali Arthur sudah duduk berangkat ke kantornya, ketika mendapat kabar bahwa beberapa orang kepercayaannya sudah menemukan keanehan atas kematian Sarah.
Menurut informasi yang dia dapat Sarah tidak terlalu memiliki banyak teman, itu artinya sangat mudah untuk mencari tersangka pembunuhan. “Tetapi kenapa justru Malika digiring menjadi tersangka? Aku harus temukan saksi yang membuat kesaksian palsu itu,” gumam Arthur.
“Malika.. Malika... Malika...” Arthur menyebut nama Malika berkali-kali sambil melamun, dia membayangkan wajah Malika yang tersenyum. Arthur akan ikut tersenyum melihat bayangan Malika itu, lalu ketika bayangan Malika yang tersenyum berganti dengan wajah Malika yang melihatnya tajam Arthur akan terkekeh pelan.
“Lama-lama aku bisa gila kalau seperti ini,” ujar Arthur pada dirinya sendiri. Sekarang disaat dia memikirkan Malika dia jadi ingat pesan kakeknya sebelum kakeknya pergi meninggalkannya sendirian.
Flashback On
Arthur masih setia menunggui kakeknya di rumah sakit, sudah dua hari ini kakek Rafael masuk rumah sakit karena serangan jantung. Arthur meninggalkan semua pekerjaannya demi untuk menjaga kakeknya. Air mata Arthur menetes, dia takut jika harus sendirian. Mungkin dia lebih baik ikut bersama kakeknya, sudah tak ada lagi yang menjadi alasan Arthur untuk tetap bertahan. Kedua orang tuanya sudah meninggalkannya dan sekarang kakeknya sedang berjuang karena penyakit jantungnya.
“Arthur...” suara kakek Rafael yang terdengar lemah membuyarkan lamunan Arthur. Digenggamnya tangan sang kakek sambil.
“Ya, Arthur di sini kek,” Arthur sekuat tenaga menahan tangisnya agar tak jatuh di depan kakeknya, dia tetap ingin menjadi cucu kebanggaan kakeknya. Karena Arthur tahu bahwa kakeknya itu tidak suka cucunya menjadi lemah.
“Arthur harus janji dengan kakek, Arthur harus hidup dengan baik,” ujar kakek Rafael susah payah karena dadanya yang terasa sesak. Arthur diam saja tidak ingin menjawab, dia tidak ingin berjanji hal yang tidak bisa dipenuhinya.
“Kamu harus buka surat ini jika kakek sudah tidak ada dan kamu harus kabulkan permintaan kakek Arthur,” kakek Rafael menyodorkan sebuah amplop putih kepada Arthur, dengan ragu-ragu dan penasaran Arthur mengambil amplop tersebut.
“Kakek janji kakek harus sembuh,” pinta Arthur dan air mata yang sejak tadi ditahan Arthur akhirnya jatuh juga. Kakek Rafael hanya tersenyum dan menggenggam tangan Arthur dengan lembut, seolah-olah memberikan kekuatan untuk Arthur.
Dua hari setelah pembicaraan itu kakek Rafael meninggal dunia, Arthur pun membuka surat yang ditinggalkan kakeknya.
Flashback Off
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me
Bí ẩn / Giật gânWARNING! CERITA BANYAK MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN DAN PEMBUNUHAN *** -Musim Pertama- Malika Kamilah mendapat tuduhan atas pembunuhan teman satu kosnya, atas apa yang tidak diperbuatnya. Disaat tidak ada yang membantunya, Arthur Sujatmiko datang seb...