Delapan jam berlalu setelah Malika dimintai keterangan oleh polisis, sekarang dia sudah diizinkan pulang. Begitu Malika dan Arthur keluar dari kantor polisi beberapa wartawan sudah menunggu mereka di luar. Berbagai macam pertanyaan yang terdengar seperti suara lebah karena di ucapkan bersamaan membuat Malika bertambah pusing, Arthur yang paham dengan kondisi Malika merangkul Malika dan menuntun Malika melewati wartawan yang mengerubungi mereka.
Arthur dan Malika berhasil masuk ke dalam mobil tanpa mengeluarkan sepatah kata sedikit pun. Arthur menjalankan mobilnya pembelah jalanan Jakarta yang padat, dia memutuskan untuk membawa Malika ke kantornya.
“Minum dulu dan tenangkan dirimu,” Arthur mengangsurkan teh madu hangat kepada Malika. Sekarang mereka sedang duduk berdampingan di sofa kantor Arthur.
Dengan tangan yang sedikit bergetar Malika meminum teh madu tersebut, bibirnya kelu untuk berbicara. Belum lagi pusing di kepalanya yang semakin menjadi, perasaannya yang gelisah juga memperparah demamnya.
“Ayo makan dulu lalu setelahnya minum obat,” Arthur membuka kotak makanan yang memang sudah ada di atas meja sedari mereka datang tadi. “Aku meminta sekertarisku untuk membelikannya tadi,” tambah Arthur lagi, dia mengangsurkan kotak maknan ke Malika.
Malika diam saja tidak mengambil makanan yang diangsurkan Arthur, hanya tatapan mata kosong yang terdapat pada bola matanya. Arthur dengan hati-hati memegang pundak Malika lembut, meremas pelan pundak Malika untuk menyadarkan Malika dari lamunannya.
“Ada apa?” tanya Malika setelah berhasil keluar dari alam lamunannya.
“Jangan banyak melamun nanti kesambet,” goda Arthur kepada Malika. Disendokkannya makanan dan disodorkannya makanan tersebut ke arah Malika, meminta Malika untuk membuka mulutnya dan menerima suapannya.
“Aku bisa sendiri,” tolak Malika dan berusaha mengambil alih sendok di tangan Arthur.
“Orang sakit itu makannya harus disuapi,” ujar Arthur setelah berhasil menjauhkan sendok dari jangkauan Malika. “Jangan menolak dan buka mulutmu Malika,” tambah Arthur lagi.
Malika akhirnya menerima suapan Arthur, ada rasa bahagia yang meletup-letup di dalam hati Malika. Suapan demi suapan hingga makanan dalam kotak ludes tak tersisa terasa sangat nikmat bagi Malika.
“Minum obatnya,” Arthur mengangsurkan obat Malika setelah Malika menghabiskan makanannya.
“Kamu tidak makan Arthur?” tanya Malika setelah dia berhasil menelan obatnya.
“Aku tidak makan karena tidak ada yang menyuapiku,” ujar Arthur berniat menggoda Malika. Arthur bahkan tersenyum begitu melihat Malika terkekeh geli atas perkataannya itu.
“Kamu tidak sedang sakit Arthur,” balas Malika dengan mimik wajahnya yang sangat menggemaskan. Arthur pun merubah senyumnya menjadi tawa renyah yang sudah lama tidak dikeluarkannya. Malika yang melihat Arthur tertawa juga ikut tertular oleh tawa Arthur.
“Untuk sekarang kamu tinggal di rumahku saja dulu Malika, barang-barangmu akan ada orang yang mengurusnya,” ujar Arthur dengan tegas, seolah-olah tidak ingin mendnegarkan penolakkan Malika.
“Baiklah, aku tidak bisa menolak,” kata Malika akhirnya.
Arthur pun mengantarkan Malika ke rumahnya, sedangkan dirinya akan menginap di apartemen. Arthur juga menjelaskan bahwa di rumah ini akan ada Mbok Salmi yang akan ikut menginap menemani Malika.
“Terima kasih atas bantuannya,” ujar Malika mengantarkan Arthur ke depan pintu rumah Arthur.
“Tidak perlu sungkan Malika, sudah kewajibanku untuk membantu calon istriku bukan?” tanya Arthur santai sambil mengedipkan sebelah matanya. Hal itu sukses membuat rona di wajah Malika timbul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me
Mystery / ThrillerWARNING! CERITA BANYAK MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN DAN PEMBUNUHAN *** -Musim Pertama- Malika Kamilah mendapat tuduhan atas pembunuhan teman satu kosnya, atas apa yang tidak diperbuatnya. Disaat tidak ada yang membantunya, Arthur Sujatmiko datang seb...