2. Orang Yang Setengah Waras Itu tidak Gila

647 128 36
                                    

Aku sedang duduk di teras sambil memangku bank soal dan menggenggam pensil ketika kegaduhan lewat di depan rumah. Ada orang gila yang sedang diikuti anak-anak kompleks. Setidaknya, begitulah orang di rumah memanggilnya. Tapi, sebenarnya aku kenal dengan orang yang sebenarnya setengah waras itu.

Namanya mas Yana, umurnya mungkin seusia pamanku yang paling kecil, yang sekarang bolak-balik New York-Jakarta macam ke jamban itu. Dulu, waktu aku kecil, sebelum aku sadar kalau mas Yana punya penyakit mental, aku sering bermain dengannya. Entah ke sungai di ujung komplek sana, atau sekadar memanjat pohon dan mengambil bunga liar di serumpunan hutan kecil di dekat sungai itu.

Seingatku, mas Yana orang baik. Dia selalu mau mendengarkan ceritaku yang entah aku membual atau tidak. Tentu saja, kehidupanku terlalu sederhana sampai-sampai tidak ada yang menarik untuk aku ceritakan ke mas Yana. Dia suka memintaku bercerita, sampai-sampai kadang aku percaya kalau yang aku ceritakan benar, membuat alter ego di kepalaku sendiri, merangkai untaian cerita menjadi sebuah kenyataan yang hanya ada dipikiranku.

Lamunanku terpecah ketika terdengar suara tawa mas Yana yang mengusir anak komplek di belakangnya. Dia menyuruh mereka pulang, tapi dengan ekspresi bahagia seperti 'ayo main lebih lama denganku,'. Seolah menemukan sesuatu yang menarik, anak-anak seperti ayam itu justru tertawa dan semakin yakin mengikutinya. Sebentar aku beradu pandang dengan mas Yana, kemudian dia tertawa lagi memamerkan gigi kuningnya.

Saat aku merantau untuk sekolah di kota jauh sana, baru aku tahu kalau sebenarnya mas Yana dijauhi sekompleks, karena katanya dia gila. Cerita ibu, mas Yana awalnya tidak begitu. Mas Yana merupakan anak tunggal kebanggaan orangtuanya. Bagaimana tidak? Laki-laki, cerdas, bahkan waktu bayi bicara dan jalannya termasuk lebih cepat dari seusianya.

Merasa dianugerahi anak yang istimewa oleh Tuhan, ibunya bersemangat mengikutkan mas Yana ke berbagai kursus. Musik, menggambar, matematika, semua. Saat disekolah, ekstrakurikulernya juga dipilihkan yang bergenre astronomi, atau robotik, bahkan saat SMA mas Yana sempat menyabet medali emas olimpiade sains nasional dan 10 besar olimpiade matematika internasional. Membuat Indonesia bangga, terlebih orangtuanya.

Saat itu, mas Yana yang dididik dengan tema orangtua selalu mengerti yang terbaik untuknya, hanya menerima, pasrah. Seolah memang begitulah yang seharusnya, begitulah yang benar.

Saat kuliah, ayahnya meminta mas Yana masuk jurusan teknik, almamater kebanggaannya. Universitasnya tidak tanggung-tanggung, salah satu universitas terbaik yang dimiliki Indonesia. Beda betul dengan universitas negeri yang aku datangi hanya karena passing grade nya memenuhi.

Mas Yana merupakan mahasiswa aktif. Aktif di laboratorium, jadi asisten dosen, jadi ketua BEM, apalagi yang belum kusebutkan?

Tentu saja, perilaku mas Yana yang kalem dan tidak serampangan menambah poin plus yang sudah meluber-luber. 

Setelah menyelesaikan kuliah 3.5 tahunnya dan lulus dengan predikat cumlaude, banyak perusahaan yang mengundang mas Yana untuk menjadi bagian dari mereka. Jangankan nasional, multinasional, internasional, bahkan kalau ada setingkat lebih tinggi dari internasional hadir di meja mas Yana.

Tapi kawan, di sinilah babak baru dimulai.

Tak disentuhnya surat-surat undangan itu, baik fisik maupun elektronik. Sepanjang hidupnya, baru kali ini juga orangtua mas Yana dibuat frustasi karena anak satu-satunya tidak mau mendengarkan kata-kata mereka. Setelah pulang wisuda, selepas melempar toga keatas langit dan tersenyum senang diapit kedua orang tuanya, mas Yana, yang awalnya diam, jadi lebih sering diam.

Kalau tidak berada di kamar, mendengarkan musik yang aneh-aneh, bisa dipastikan ia main ke ujung komplek. Iya, ketempat dimana aku sering bertemu dengannya. Tapi tidak selamanya, karena aku harus pergi ke sekolah di kota jauh, melanjutkan ke jenjang SMA. Sejak saat itu, mas Yana jadi lebih sering mengurung diri.

Pandangannya kosong, seperti tidak ada yang lewat barang satu sliwer pun dikepalanya. Kadang dia lari ke ujung komplek, tapi tak ditemukannya apa yang dicarinya. Disitu dia mulai berteriak-teriak, tidak jelas. Berjalan pulang dengan kepala geleng-geleng dan suara random. 

Bapak ibunya kira ada roh yang kurangajar memasuki tubuhnya. Dirukyah sama saja, nihil.

Dibawa ke dokter, beliau juga menyerah.

Sampai rumah ibunya meraung, mengumumkan kalau dialah sebab mas Yana jadi seperti ini. Bapaknya yang punya darah tinggi, keseringan stress, setengah tahun lalu meninggalnya. Ibunya yang awalnya membangga-banggakan anak bujangnya jadi diam, hampir mirip seperti mas Yana. Kadang-kadang suka marah-marah sendiri.

Lalu, sang tokoh utama, sering lewat di depan rumahku sambil cengar-cengir ketika aku pulang. Entah aku hanya di rumah beberapa hari, atau mengahabiskan liburan semesteranku yang berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Mas Yana selalu hadir. Kadang hanya berdiri di depan pagar, seolah ingin bilang sesuatu. Tapi tidak pernah jadi, mas Yana sudah selalu kabur duluan.

Awalnya, saat liburan pertamaku di tahun pertama SMA, aku masih sering main di ujung komplek. Tapi, ibu memperingatkanku jangan sering-sering kesana, ada orang gila.

Orang gila itu adalah mas Yana.

Aku menghela napas. Kawan, menceritakan hal ini padamu bukanlah suatu hal yang bisa aku banggakan. Sedih, lolos hati ini rasanya mengingat dulu mas Yana sering dijadikan contoh satu komplek. Tapi yang membuatku lebih sakit hati adalah, bagaimana mereka memperlakukan mas Yana seperti orang gila sungguhan.

Tapi yang lebih sedih lagi, kawan, bank soal psikotes ditanganku ini belum juga aku isi setengahnya. Kepalaku sudah penuh duluan karena penat dan karena mas Yana. Sebenarnya aku sudah lulus kuliah, sarjana, syukurlah tepat waktu. Untuk mengisi kekosongan, ibuku menyuruhku mengejar gelar master di kampusku, dan mencari pekerjaan yang potensial untukku di sela-sela waktunya.

Berat, sih, tapi demi kebaikanku katanya.

Daripada pusing, lebih baik aku memetik rambutan saja dari halaman. Warnanya sudah merah ranum, menggoda untuk diambil. Merutuki tubuhku yang mini, aku keluar menuju dahan yang menjorok ke jalan. Di situ lebih rendah, dan kebetulan masih tersisa rambutan yang belum dijarah kalong maupun anak komplek.

Perlahan aku julurkan tanganku, zonk. Lompat, ah, jangan komentar. Aku mendengus. Bahkan rambutanpun seperti ingin mengejek aku yang tidak bisa apa-apa.

Tapi tiba-tiba rambutan itu sudah tersambut sepasang telapak, sekarang sedang dijulurkan padaku. Aku membulatkan mata.

"Hehehe,"

Mas Yana.

"Nan--Nana jangan belajar terus, ayo main," Mas Yana masih berdiri didepanku, tertawa-tawa. Giginya kuning, tidak takut kering ia pamerkan.

"Nana kan capek, ayo cerita lagi, hehe," Mas Yana menggoyang-goyangkan rambutan didepan wajahku. Sedetik kemudian aku berlari kedalam rumah, secepat yang aku bisa.

Seperti kesetanan, aku mencari ibuku dipenjuru. Kutemukan dia di dapur, terkejut karena aku mendadak heboh.

"Nana! Ada ap--"

"MAMAH! NANA BERHENTI S2 YA! NANA MAU NULIS SAJA!"

Tak kupedulikan reaksi ibu selanjutnya, kalau peduli nanti aku tidak bisa pergi. Kemudian aku segera keluar, takut mas Yana sudah beranjak. Ternyata tidak, mas Yana masih berdiri di situ, dengan tangan yang menggenggam rambutan, tangkainya terkulai lemas.

Tanpa pikir panjang aku tarik mas Yana. Kesenangan, dia sudah tahu kemana aku menuju.

Kalian juga tahu kan aku mau kemana?

Sungai dan hutan kecil di ujung komplek.

ABERASI: Jiwa-Jiwa Dungu yang TersasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang