5. Hamburan Debu

367 65 14
                                    

“You can fall from the sky, you can fall from a tree, but the best way to fall is ... in love with me.” ─ Pandanello  

Ceruk leher Hezkiel selalu jadi yang ternyaman untuk menyembunyikan wajah. Aroma musk pemuda itu seakan membawa Ruth untuk menghisap──terus, menjelma bak morfin yang mencandu dirinya.

Euforia yang ia rasakan masih sama, semenjak tiga minggu yang lalu sama sekali tidak berubah sampai saat ini. Gadis cantik itu berbinar wajahnya, berada di dekat sang pemuda layaknya melebihi kebahagiaan mana pun yang pernah ada di muka bumi.

Tangan kanannya kini menggenggam tangan dingin Hezkiel yang pucat pasi. Wajahnya ia tarik keluar, lalu mengecup singkat rahang Hezkiel yang kaku.

Ruth selalu gemas melihat wajah pemudanya. Bibir pucat, hidung mancung, bahkan kedua alis yang dimiliki sang kekasih begitu sempurna. Layaknya Tuhan memang mengasihinya dengan begitu banyak kasih sayang.

Ruth lalu mengelus salah satu sisi pipi Hezkiel seraya berbisik, “Kau selalu sama, Sayang.”

“Ruth ... sebesar itukah rasa cinta engkau padaku, Puan?”

Ruth mengangguk antusias, getar bariton suara Hezkiel membuat secarik kurva sang gadis kembali terangkat.

“Maafkan aku ... maaf aku menentang takdir kita.”    

*****

Kematian Yehuda sore itu menjadi pukulan telak untuk psikisnya. Beberapa kali Ruth menangis, menjerit, tak jarang melukai dirinya dengan silet, cutter, atau benda tajam lainnya.

Baginya, kematian seorang Yehuda adalah sebuah neraka, apalagi tiga hari lagi mereka akan melangsungkan ikatan janji suci.

Hezkiel yang melihat kesedihan adik sepupunya itu hanya mampu bersembunyi di balik daun pintu, tidak berani mendekat. Rasanya sakit melihat tingkah Ruth─sekaligus kecewa dan marah.

Beribu kali ia mengatakan bahwa gadis itu harus merelakan pemudanya. Tak digubris, Hezkiel malah melihat kematian mendekat di ujung kedua bola mata Ruth. Kegelapan, pedang api sangat tinggi menyala-nyala, atau pria berjubah hitam yang berada di sudut ruangan.

Kini Ruth tertidur di ambal kamarnya─mungkin pingsan karena terlalu lelah menangis atau menjerit. Praktis, Hezkiel mendekat. Tangan kanannya secara intuitif bergerak, membelai wajah sendu Ruth dan terkejut beberapa detik kemudian.

Wajah cantiknya mendadak berubah pucat, suhu tubuhnya di bawah rata-rata, napasnya pun terdengar pendek-pendek. Nampak jelas wajah kalut Hezkiel, lekas ia cek detakan jantung sang gadis.

“Ruth ... kau dengar aku?” Hezkiel berbisik, tangannya memukul-mukul pipi Ruth cukup keras. Lagi, tidak ada sahutan dari gadis itu. Kepanikan menginvasi otaknya saat ini.

Hezkiel pun mengangkat tubuh Ruth, meletakannya di atas kasur hangat yang berada di tengah ruangan. Tanpa sengaja irisnya terarah pada gaun putih yang terletak di sudut ruangan. Itu gaun pengantin yang akan digunakan Ruth untuk pernikannya─yang gagal─tiga hari mendatang.

Gaun putih rancangan desainer terbaik itu perlahan robek dengan sendirinya. Ada darah yang merembas pada gaun, padahal sebelumnya gaun itu masih terlihat bersih dan putih.

Penasaran, Hezkiel bergerak mendekat. Diperhatikan saksama gaun pengantin adik sepupunya itu, malahan ia terkejut saat api tiba-tiba datang dan menghanguskan gaunnya detik itu juga.

Hezkiel mundur sedikit ke belakang. Tungkainya mendadak lemas, mendaratkan bokong pada marmer lantai, pemuda itu terjatuh. Agaknya kerutan di wajah Hezkiel semakin bertambah saat tiga ekor kupu-kupu berwarna biru kristal keluar dari kaca rias sang adik.

Ia makin panik, terkunci tiba-tiba. Tiga kupu-kupu tadi terbang rendah di hadapan wajahnya, sejajar dengan iris pemuda itu. Rupanya begitu cantik, warnanya memikat, aroma kasturi membaui seisi ruangan yang sebelumnya berbau anyir.

Tiga detik saat batinnya memuji, tiga kupu-kupu tadi menjelma menjadi sosok makhluk menyerupai manusia dengan gaun putih bertaburkan kristal biru muda. Surai panjangnya yang berwarna pirang pun kedua irisnya berwarna menyerupai gaun yang ia pakai menghisap atensi pemuda itu.

Presensinya begitu menawan, Hezkiel sampai terkesima dalam sepuluh detik pertama.

“Adikmu akan kami bawa pergi.”

Itu suara laki-laki. Benar, suara itu khas laki-laki dewasa. Kesekian kalinya Hezkiel terkejut lalu mundur beberapa kaki ke belakang dalam posisi duduk.

“Ka─kau … siapa kamu?”

Wanita cantik bersuara laki-laki itu berjalan mendekat. Wajahnya ia tundukan sampai cucuknya sejajar dengan telinga kanan Hezkiel.

“Kupu-kupu penghisap nyawa.”    


*****

Pemuda itu mendesah berat. Kebahagiaan Ruth yang tengah menggenggam jemarinya pun mengintip malam melalui jendela melemahkan hatinya untuk berbicara.

Ia menunggu gadisnya di sebelah, berharap ada sesuatu yang terlontar sampai akhirnya pemuda itu terpancing untuk berbicara. Namun, menit berikutnya tidak ada yang berubah. Ruth tidak bersuara, atau sosok Hezkiel yang memilih diam menunggu.  

“Sayang ….” Skeptis, ia mengeluarkan suaranya yang lirih. Gadisnya menoleh, tersenyum seolah mempersilakannya melanjutkan apa yang ingin disuarakan.

“Apa begini baik untuk … kita berdua?”  

Ruth mendesah berat, namun tidak pula melunturkan senyum penuh cinta untuk sang pujaan hati. “Tidak, ini yang terbaik, Tuanku. Ini yang terbaik untukku, dan untukmu Yehuda.”    

Sosok Hezkiel yang dirasuki sukma Yehuda menutup dwiatensinya sesaat. Cukup lama, sampai tangan hangat gadisnya menyadarkan pemuda itu untuk membuka kedua bola matanya.

Benar, yang hidup saat ini adalah Yehuda. Meski raganya berwujud seorang  Hezkiel, tapi seluruh ingatan, memori, bahkan gaya bicara sampai gaya makan pun adalah sosok Yehuda.  

“Kamu bisa saja jatuh dari langit, ataupun pohon. Tapi yang harus kamu tahu bahwa jatuh paling indah yang ada di muka bumi ini adalah jatuh hati denganku.” Ruth terkekeh pelan dengan kelakar ucapannya, namun tidak bagi Yehuda. Ia diam, memerhatikan Ruth dari ujung matanya yang berbinar.  

Ruth yang gemas dengan kediaman Yehuda kembali menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang pemuda. Ceruk leher Hezkiel─milik Yehuda saat ini─tempat ternyaman yang ia miliki.

“Aku akan pergi ke neraka jika kematian keduaku hadir. Hezkiel menukar nyawanya demi diriku dan kamu. Saat aku terjangkit ajal, aku akan benar-benar pergi ke neraka.”  
“Aku juga. Aku akan ke neraka bersama tuanku, Yehuda.”    

Cintanya tak lagi sama. Cintanya sudah berubah menjadi debu. Cintanya mengapung, debunya terombang di atas kematian sang suci.

Tidak pernah ada cinta beralaskan sebuah kematian, tidak pula ada cinta yang dipertahakan dengan nyawa sang suci.

Cintaku juga berubah, aku tak lagi mencintai gadisku seperti dulu. Nyawa sang suci terlalu berharga, aku berlagak, ia terkungkung obsesinya sendiri.  

Maafkan aku … cintaku sudah menjelam menjadi butiran debu yang tak lagi sama … Ruth─ Yehuda ***

ABERASI: Jiwa-Jiwa Dungu yang TersasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang