6. Kursi Kosong Untukku

330 61 25
                                    

Sinar matahari dengan seenak jidatnya masuk melalui celah-celah tirai jendela kamarku. Suara orang-orang yang semakin ramai diluar semakin meyakinkanku kalau hari sudah berganti nama lagi. Meregangkan tubuh, aku bangkit dari kursi. Aku matikan komputer yang suaranya sudah menderu, kupegang kepalanya, panas. Merasa bersalah aku sudah memakainya dari beberapa hari yang lalu, nonstop.

Menuju dapur, aku menegak air. Kubuka kulkas, ah, kosong. Baru aku ingat seminggu yang lalu melihat makanan saja aku serasa ingin muntah. Tapi sekarang, aku luar biasa lapar sampai-sampai kalau saja ada sapi lewat rasanya ingin aku sembelih dan langsung kujadikan satai. Mengenakan tudung kepalaku dan menyambar asal sandal yang ada didepan, aku turun untuk membeli barang beberapa makanan.

Beberapa orang lewat melihatku sambil mendesah, menutupi mata anak mereka takut kalau penerus nama baik keluarga mereka itu menjadi sepertiku. Beberapa lainnya tampak masa bodoh, tapi aku tahu dikepala mereka sudah berisi cacian terhadap seorang muda yang kelihatan seperti pemalas sepertiku.

Awalnya, menerima tatapan seperti itu merupakan shock berat bagiku, tentu saja. Baru enam bulan yang lalu aku melepas jabatan mahasiswaku, menyandang gelar sarjana teknik dibelakang namaku, dan memiliki sertifikat cum laude resmi dari universitas. Foto bahagiaku masih tersimpan dikamar, mengenakan toga diapit kedua orang tua.

Tapi semua seperti sia-sia, menguap tidak ada baunya ketika aku memutuskan untuk tidak melanjutkan program masterku yang sudah kujalani satu bulan. Bagi mereka, aku yang menyerah ini, tidak lain adalah makhluk pengecut yang tidak lebih menjijikkan dari gelandangan disana. Tidak punya pemasukan, hanya mengadahkan tangan meminta uang dari orangtua.

Haha, mereka pikir cari kerja gampang apa?

Di minimarket dekat rumah, aku masukkan makanan instant berupa-rupa kedalam keranjang. Tak lupa air, dan kebutuhanku dalam wadah besar agar aku tak usah repot keluar dan menantang tatapan-tatapan para citizen budiman teladan. Ketika hendak membayar dikasir, pemuda yang kutaksir usianya tak lebih tua lima tahun dariku itu menscan barcode sambil menatapku dari atas kebawah.

"Senang ya sudah tidak kuliah lagi?"

Aku tertawa masam, cukuplah menunjukkan aku tidak ingin bicara.

"Kau itu sebaiknya... tetanggaku begini.. temanku ada yang punya.."

Tak kudengarkan suara pemuda itu. Bermacam-macam petuah, nasihat, saran semuanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan.

Begini kawan, ada dua macam tipe orang yang memberi masukan macam begini. Pertama, mereka berbusa-busa menghujaniku dengan kata-kata semangat karena mereka tidak tahu sama sekali yang aku alami dan hadapi. Kedua, mereka berbusa-busa menghujaniku dengan kata-kata semangat karena mereka sudah sangat tahu yang aku alami dan hadapi, seperti diriku sendiri.

Menurut kalian tipe yang mana pemuda itu?

Setelah melepaskan diri dari kounter berisik itu, aku masuk kedalam lingkaran masyarakat paling benar lagi. Tiba-tiba rasanya aku ingin menangis. Aku tahu, sudah tak muda usia orangtuaku, pun adik-adikku masih sekolah semuanya. Tidak sepantasnya aku menganggur, melepaskan kesempatan yang sebenarnya bisa membuatku jadi 'orang' itu.

Hanya saja aku saja hampir mati menjalaninya, sesak. Aku merasa tidak cukup pintar bertahan disana. Pilihanku agar aku tidak seperti zombie adalah mengundurkan diri, melangkah pergi mengangkangi beasiswa yang sudah aku dapatkan, membuangnya jauh-jauh. Mencoba mencari apa yang benar-benar ingin aku lakukan, mencari passion.

Bukannya aku juga bahagia dengan yang seperti ini. Tapi jika diambil kesimpulan yang menurutku cukup baik, bukankah begini lebih baik? Cocok untuk pecundang sepertiku, cocok untuk otakku yang sulit bekerja ini. Cocok juga untuk mentalku yang tidak lebih baik dari kerupuk.

Berita menyerahku menyebar cepat, entah kenapa kalau berita yang jelek-jelek selalu saja tersebar dengan mudah. Teman-teman dan keluargaku mulai berlomba, memberikan wejangan-wejangan. Harusnya kau begini, harusnya kau begitu, harusnya jangan kau lepas program itu. Rasanya aku jadi ingin tertawa --biar saja tumbuh ekor di pantatku-. Kemana orang-orang itu saat aku sendirian bergelut dengan pikiranku, ketika aku pontang-panting berusaha membuat diriku tampak sama dengan mahasiswa master lainnya?

Kemana mereka ketika aku hanya ingin didengar saja, paling tidak lewat telepon, meskipun nantinya aku tidak berharap mereka benar-benar mendengarkan. Coba dengar alasan mereka jika mereka mengatakannya,

"Sibuk, lagipula belajar itu kan, perang terhadap dirimu sendiri, jangan seret aku."

Tapi ketika keadaan sudah begini, tiba-tiba mereka merasa punya andil dengan hidupku.

Bicara tentang pikiran, ternyata kepalaku juga sama busuknya dengan orang-orang itu. Setiap malam, meskipun sudah kuredakan dengan lagu yang menyumpal telingaku, suara kepalaku tetap terdengar. Kubesarkan volume, masih sama saja. Ternyata aku baru sadar, playlistku bahkan berisi lagu-lagu berlirik suara kepalaku sendiri.

Karena itu, aku jadi takut tidur. Lebih baik berkawan dengan siang, bersekutu dengan malam. Tapi bahkan, hal-hal yang aku lakukan untuk terjaga itu, yang biasanya sangat aku senangi jadi tidak ada rasanya lagi. Hambar.

Karena hal itu, mungkin juga karena efek tidak tidur, aku jadi berpikir yang aneh-aneh. Ketika melihat seprai, aku selalu berpikir itu bisa jadi tali yang kuat. Atau ketika melihat mobil yang menderu disampingku ini, aku berpikir apakah uang asuransinya cukup untuk membayar hutang kami?

Tapi yang paling membuatku penasaran adalah,

Bagaimana rasa bertemu dengan air sungai yang diam ini? Apakah sebegitu dalamnya sampai dia tenang? Sekarang bulan desember, sedingin apa rasanya? Aku dengar ketika masih sekolah dulu ada buaya disini, apakah masih hidup?

Ternyata, kawan, rasanya seperti kulit digores, dan wajah yang sakit ketika bertemu dengan permukaan air itu. Tentang dalamnya.. jangan ditanya! Karena badai minggu-minggu ini, debit air bertambah, dasarnya jadi lebih jauh dari hari-hari sebelumnya. Arusnya kencang, karena daerah atas ternyata hujan deras yang belum berhenti tadi malam. Rasanya dingin, seperti menyentuh es. Tentang buaya, apakah rumor itu salah? Apakah aku bisa menemui buaya ketika berada di muara?

Tak berapa lama berselang, aku mengamati orang yang kepalanya sedang menyatu dengan lantai. Aku menengok jam. Sudah jam 9 pagi.

Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan pada orang itu.

Berhasilkah ia menghubungi yang ingin ia temui? Didengarkah kata hatinya? Dianggapkah ketika ia mengetuk tempat si yang ingin ia datangi?

Mungkin, jika orang itu penyenang yang baik, bisa jadi berhasil. Aku pernah mencoba. Sepertinya, karena aku bukan penggoda yang baik, apalagi pencuri hati. Aku tidak pernah terhubung. Dianggap tidak ada, dan bahkan sebelum aku mengetuk aku sudah ditendang.

Tapi jika aku datang langsung seperti ini, masih samakah keadaan?

Merasa dipanggil aku menoleh kedepan, ah, iya aku harus bergegas. Dengan langkah lebih cepat aku mengikuti sosok yang dari tadi membimbingku sejak dari atas jembatan tadi. Beriringan kami berjalan, mengikutinya membawaku menuju masaku selanjutnya.

Tak ada salahnya mengikutinya, lagipula tak ada lagi yang tersisa untukku disini kan?

Aku akan mencari slot kosong disana, siapa tahu memang lebih pantas untukku berada disana. Dimanapun sosok ini akan membawaku.

ABERASI: Jiwa-Jiwa Dungu yang TersasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang