Dia itu menyebalkan sebagaimana cara bicaranya yang menuntut dan tak punya jeda. Tetapi (untuk alasan lain yang tidak bisa kumengerti) aku menyukai suaranya; menyukai setiap cerita yang ia katakan, juga ekspresinya yang kadang beragam dan bersungut-sungut.
Suatu sore, ketika udara tak terlalu panas dan lembab; aku mendengar langkah kakinya dari bawah, merangsek masuk ke dalam lorong melewati mural-mural abstrak sebelum menarik knop dan menimbulkan decitan──o, dia sudah datang.
Ia melempar tasnya──sebagaimana yang aku tahu kalau dia sedang kesal, masygul hatinya pun tak tentram. Aku jadi antitesa, menunggu-nunggu kapan celotehannya yang kerap muncul itu keluar. Ternyata, aku berekspektasi. Ia tak bersuara sama sekali──desau napasnya saja yang terdengar teratur. Ia selayaknya orang bambung dan aku bisa mendengar riuh-rendah di dalam diriku bersama rasa was-was.
Tak ada konversasi intim yang kerap kami lakoni. Ia membisu tetapi ablur matanya memberiku tanda bahwa ia akan menangis──tidak! Dia memang tengah menangis.
"Ia memberitahuku, katanya ia lebih memilih istrinya."
O, aku tahu. Hatinya sekarang sedang patah, tak seperti biasanya; yang penuh bunga-bunga menggores tubuhku.
"Itu salahmu. Hatimu terlalu dungu. Aku sudah bilang itu dari awal." ***
KAMU SEDANG MEMBACA
ABERASI: Jiwa-Jiwa Dungu yang Tersasar
Short StoryHarus kukatakan padamu bahwa aku tidak mengarang cerita ini sendirian. Aku menyelami dirimu; masuk dan mencoba menuturkan kisah-kisah yang mereka alami. Jadi, ingatlah. Bisa jadi ada kisahmu di sini, yang kututurkan kepada mereka─para pencari dongen...