3. Masygul Hati Si Dungu

456 85 7
                                    

Dia itu menyebalkan sebagaimana cara bicaranya yang menuntut dan tak punya jeda. Tetapi (untuk alasan lain yang tidak bisa kumengerti) aku menyukai suaranya; menyukai setiap cerita yang ia katakan, juga ekspresinya yang kadang beragam dan bersungut-sungut.

Suatu sore, ketika udara tak terlalu panas dan lembab; aku mendengar langkah kakinya dari bawah, merangsek masuk ke dalam lorong melewati mural-mural abstrak sebelum menarik knop dan menimbulkan decitan──o, dia sudah datang.

Ia melempar tasnya──sebagaimana yang aku tahu kalau dia sedang kesal, masygul hatinya pun tak tentram. Aku jadi antitesa, menunggu-nunggu kapan celotehannya yang kerap muncul itu keluar. Ternyata, aku berekspektasi. Ia tak bersuara sama sekali──desau napasnya saja yang terdengar teratur. Ia selayaknya orang bambung dan aku bisa mendengar riuh-rendah di dalam diriku bersama rasa was-was.

Tak ada konversasi intim yang kerap kami lakoni. Ia membisu tetapi ablur matanya memberiku tanda bahwa ia akan menangis──tidak! Dia memang tengah menangis.

"Ia memberitahuku, katanya ia lebih memilih istrinya."

O, aku tahu. Hatinya sekarang sedang patah, tak seperti biasanya; yang penuh bunga-bunga menggores tubuhku.

"Itu salahmu. Hatimu terlalu dungu. Aku sudah bilang itu dari awal." ***

ABERASI: Jiwa-Jiwa Dungu yang TersasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang