4. Nyanyian Di Sore Itu

366 80 21
                                    

Bram paling suka melihat kekasihnya menyanyi di balkon kamarnya. Hal itu pula yang membuat Bram jatuh hati padanya. Memberanikan diri, Bram berhasil mengungkapkan perasaan dan mereka menjadi sepasang kekasih sejak lulus SMP, 7 tahun lalu.

Setiap sore, seolah menenangkan langkah-langkah cepat para pejalan kaki dibawah, dan tanpa inisiatif untuk menandingi deru lalu lintas dan segala kepadatannya, kekasihnya bernyanyi kecil. Cukup untuk didengar oleh Bram yang jendela kamarnya tepat berseberangan dengan balkon gadis itu.

Suaranya sendu, tatapannya mampu melelehkan hati siapa saja. Senyumnya membuat Bram berpikir, dia rela jika dimintai membawakan bahkan bulan pun untuknya. Tapi sejak dua tahun lalu semua berubah. Gadisnya memang masih menyanyi, tapi nyanyiannya menyayat hati. Orang yang lewat, yang dulunya suka menyapanya dan sekedar melemparkan jeruk padanya, pelan-pelan menyingkir. Takut.

Suaranya serak, selalu habis menangis. Tatapannya kosong, seolah tidak ada hari esok untuknya. Senyum favorit Bram itu musnah, tergantikan dengan ekspresi dingin dan lelah. Semua orang menjauhinya, keluarganya menganggap dirinya aib. Tidak pernah lagi gadis itu diizinkan keluar kecuali di balkon kamarnya sendiri, dengan makanan dan minuman yang diletakkan begitu saja didepan kamarnya. Tidak ada yang mau menemuinya bahkan ayah ibu nya sendiri. Konyol, begitu anggapan mereka.

Meskipun begitu, Bram masih sama. Setiap sore, dia masih setia duduk di jendela kamar, menonton gadis itu selesai bernyanyi sampai azan berkumandang. Tidak kurang tidak lebih.

Tapi, sore ini berbeda. Bram tidak menemukan gadis itu keluar di balkon, dan besok sorenya, dan besok sorenya. Bram tahu ada sesuatu yang tidak beres. Sampai akhirnya, ketika Bram masih menanti gadisnya muncul di balkon, sang kekasih justru tampil, berdiri tegap disamping Bram.

Meledaklah Bram.

Sepanjang malam, di kamarnya yang kini menjadi kamar adik kedua nya, Bram berusaha memberi tahu adiknya kalau terjadi sesuatu pada gadis di seberang sana. Tapi apakah usahanya sia-sia?

Sang adik terlelap memunggunginya menghadap tembok.

Keesokannya, Bram pasrah. Dia tidak akan dapat pergi dari sini, pun kekasihnya sudah lenyap berjam-jam lalu. Sekarang Bram terkurung disini, hanya dapat memandang kosong adiknya yang bangun dan beralih ke ibu mereka didapur.

"Eh, adik tumben sudah bangun?"

"Nggak bisa tidur, semalam kakak berisik, Ma."

Ibu yang mendengar hanya terdiam, tahu kalau anaknya memang dikaruniai peka oleh Tuhan. Nyatanya, semalam dirinya dapat tidur lelap tanpa mengetahui apa yang anak sulungnya ingin sampaikan.

"Oh, iyakah? Memang kakak ngapain?"

Dengan tenang, ibu menanyakan pada adik yang kini menyeruput susu hangat dari gelas.

"Kayaknya kita harus ke seberang deh Ma, nengok pacar kakak."

Adik yang masih setengah bangun setengah tidur berkata dengan polosnya. Ibu yang berusaha meredakan panik dihatinya tersenyum.

"Iya, nanti sore ya?"

"Sekarang ma."

Kata adik tajam, karena Bram memang menyampaikan kalau secepatnya harus kesana.

Dan memang benar, harus secepatnya.

Sesampainya Ibu di seberang, setelah memohon dibukakan pintu kamar sang gadis. Terungkaplah semuanya.

Makanan yang mereka berikan untuk sang gadis masih utuh, tidak curiga mereka karena biasanya gadis itu memang jarang makan. Tapi, itu bukan alasan kenapa makanannya masih utuh sekarang. Gadis itu, dengan gaun tidurnya yang anggun, berayun-ayun, menari mengikuti irama angin.

Tergantung lemah diatas tempat tidurnya.

Menyusul Bram, berharap bersama selamanya. Tapi bagaimana bisa? Bram yang sudah lebih mendahului, keinginannya untuk melihat gadisnya hidup bahagia setelah ia tinggalkan pupus. Sekarang tidak pernah dapat terwujud, membuatnya terperangkap disini, terjebak menjadi hal yang paling ditakuti manusia.

Sedangkan sang gadis, yang menyalahi takdir, punya acara tersendiri bersama sang pencabut nyawa. Entah diletakkan dimana, yang penting dibawanya pergi dulu. Pemberontak seperti si gadis sudah sangat hina bahkan dunia tidak pantas untuknya.

Kuingatkan satu hal kawan, mau bagaimanapun, kalau memang tidak ditakdirkan bersama juga tidak akan bisa. Ingat janji Tuhan, Ia tahu yang terbaik untukmu.

ABERASI: Jiwa-Jiwa Dungu yang TersasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang