8. Hukuman yang Harus Aku Bayar

350 64 8
                                    

Siapa yang tidak suka melamun?

Aku paling suka traveling. Tapi sepertinya definisi travelingku berbeda dengan kalian. Traveling yang kumaksud adalah pergi ke suatu tempat, dekat tak apa, jauh lebih baik. Dengan menggunakan kendaraan, roda dua, roda empat, tak beroda, tak masalah. Selama masih punya jendela, dan duduk di kursi paling dekat jendela.

Kemudian, puncaknya adalah, ketika yang ditumpangi berjalan. Tampak pemandangan-pemandangan yang pasti akan membosankan kalau ditonton televisi. Seingatku tak ada yang pernah dengan sengaja menyetel pemandangan seperti ini. Inilah bagian terbaiknya, kawan.

Tujuannya tidak penting bagiku, tapi perjalanannya yang ingin aku bicarakan.

Di kursi, aku suka melepaskan pikiran-pikiranku keluar jendela. Biar ditangkap oleh atap-atap rumah dengan kabel listrik yang saling simpang berenang disekelilingnya. Biar dikejar anak-anak kecil yang tidak punya rasa takut berlarian di sisi. Aku suka melemparkan pikiranku di pucuk-pucuk pohon yang dengan bijaksana berdiri diam, dipinggir sungai, atau ditengah sawah.

Aku suka membiarkan anak-anak lamunanku ditangkap tanaman padi yang sebentar lagi dipanen. Lalu anak-anak lamunan itu melompat dari satu padi ke padi yang lain, menggoda, dan berakhir di tanah lempung yang sesekali melemparkan batu kecil ke bodi bis yang aku tumpangi.

Tanah lempung perlahan berganti menjadi cor semen, hasil bujukan sang komendan agar pemerintah mau mengucurkan sedikit saja dana yang memang hak para rakyat. Lucu bukan? Seseorang yang jelas-jelas punya hak, justru memohon agar hak itu bisa ia dapatkan.

Lamunan dan buah pikiranku, kawan, tidak pernah kembali lagi padaku jika sudah aku hempaskan sepanjang perjalanan. Mungkin itulah yang membuatku masih bisa tersenyum ketika giliran namaku dipanggil agar turun dari bis.

Mungkin sebab itu pula sipir yang bertugas membawaku naik pitam. Ditahannya tangan diudara, yang aku yakin sudah lebih dari siap untuk menempelengku. Dilapisi seragam terhormat instansi negara, dan dibalut sumpah agar menjadi petugas yang baik, sipir itu menggenggam lenganku. Bisa aku rasakan amarahnya, bisa aku rasakan badannnya bergetar ketika menggiringku.

Setelah selesai administrasi dan segala macam yang menurutku juga tidak berguna karena aku disini tidak akan lama, sipir itu kembali. Dengan muka yang tidak dapat kubaca, lenganku kembali digamit dan rasa amarah itu lebih besar dari sebelum-sebelumnya.

Mungkinkah karena waktuku terlalu singkat menghirup udara yang ada disini?

Sesampainya di sel, tubuhku dihempas masuk, dan pintu dibanting tepat didepan wajahku. Dengan cepat sipir itu mengunci dan berbalik. Takut jika berlama-lama disitu emosinya tersulut, dan membuatnya kehilangan pekerjaan.

Aku terima dengan lapang dada linangan hukuman pertamaku disini.

Seorang pria tua mengulurkan tangan, mengajakku bersalaman. Anak muda yang usianya sama seperti adikku menjelaskan apa-apa saja yang perlu aku ketahui disini. Pria paruh baya diujung sana tertawa senang dapat kawan baru, pengganti penghuni lain yang baru pergi dua hari lalu. Lalu si anggota geng, badannya tambun dan penuh tato, menggertakku karena tidak cepat-cepat menyingkir dari pintu. Dia bilang, temannya, si botak yang kelemat-kelemet itu paling gelisah kalau ada yang menghalangi pandangannya dari pintu. Aku ajak dia tertawa, dia menyahut.

Aku merasa diberkati bisa bertemu dengan mereka.

Lalu baru aku sadari. Orang-orang yang ada disini bersamaku, hari kematiannya sudah ditentukan, sama sepertiku. Inilah, kawan, yang lebih berat.

Hukuman lain dari para penegak keadilan itu.

ABERASI: Jiwa-Jiwa Dungu yang TersasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang