9. Dia, yang Paling Tidak Bisa Dimaafkan

208 27 1
                                    

Aku berdiri membalas tantangan tatapannya. Berdiri di hadapanku itu rahangnya mengeras, matanya menyalak. Kontras dengan mulutnya yang mengatup rapat, berusaha menahan letupan emosi yang kalau diumbar seenak jidat justru akan membuatnya tampak bodoh.

Dia sudah bodoh, dia sangat tahu itu, dan dia tidak mau ada orang lain (yang selalu, ㅡjelas, pasti lebih pintar tentunya) menyebutkan kebenaran kalau dia itu bodoh.

Intinya, dia tidak suka dibilang bodoh, meskipun itu kenyataan.

Aku tertawa. Dasar bodoh.

Dia menghela napas, membuatku ikut beristirahat dari duel tanpa kata ini. Aku tahu aku mungkin tidak lebih baik darinya, tapi bukan berarti aku tidak boleh membencinya, kan?

Begini, kawan, meskipun aku ini manusia mental tempe busuk, tapi aku juga punya penilaian untuk manusia lain.

Banyak dari para penjahat itu, baik yang berseliweran di televisi maupun penjahat kelas kerupuk yang sering aku lihat di sekitarku, menurutku masih punya alasan untuk melakukan semua kejahatan itu. Bukannya aku membela, aku hanya ingin mengira-ngira alasan logis kenapa mereka melakukan dosa-dosa yang membuat mereka dapat cap 'penjahat'.

Belum lagi para rekan-rekan yang tiba-tiba dikucilkan dari lingkaran hanya karena tidak bisa memenuhi standar kebenaran dari orang-orang yang sudah menganggap dirinya paling benar itu. Aku memaklumi si terkucil, bahkan mencari hal logis kenapa dia bisa dikucilkan, dan kenapa dia tidak seharusnya dikucilkan.

Aku bahkan bisa mencari alasan untuk menenangkan diri ketika si pemuda yang biasa dipanggil pak Alay melancarkan aksi pegang-memegang pada rekan kerjaku yang melotot tapi tidak menolak itu. "Biasa saja, dong," kata si Alay pada si Dua. Dua hanya menepis, tapi jelas tidak berharap kalau dirinya tidak berhenti digrepe-grepe.

Yah, biarkan sajalah, mungkin memang si Dua dan si Alay sudah saling menerima satu sama lain. Aku sudah lelah mengingatkan, malah aku yang dianggap suka sama Alay karena aku yang paling marah melihatnya seperti itu. Dasar gila! Menjijikkan.

Biar Tuhan yang menentukan nasib Dua dan Alay beserta pasangannya masing-masing.

Tapi, untuk dia yang sekarang menatapku nanar dan kosong, aku sangat tidak bisa memahami jalan pikiran serta tidak berusaha menenangkan diri ketika dia melakukan hal yang sangat bodoh!

Aku benci dia, aku tidak habis pikir dengan semua keputusannya, pendapatnya, semuanya! Dia adalah satu-satunya yang tidak bisa aku maafkan!

Mungkin sejak dia mengatakan "Ya," ketika ayahnya bertanya apa dia sudah tidak mau kuliah.

Mungkin sejak dia terlambat mengerjakan skripsi HANYA karena merasa minder dengan teman satu grupnya.

Mungkin sejak dia lebih memilih untuk menutup diri ketika SMA.

Mungkin sejak dia mulai menyadari kalau dia egois, tapi tidak melakukan apapun.

Mungkin sejak dia menangis, mengadu pada orangtuanya ketika dia dipandang rendah oleh temannya.

Mungkin sejak dia masih kecil, dia menganggap dirinya lemah.

Mungkin karena dia lemah, bodoh, dungu, keras kepala, sok tahu, suka mengada-ada, tidak mau diatur, bikin pusing! Belum lagi, mungkin karena dia aib keluarga.

Aku benci dia, aku tidak akan pernah memaafkannya.

Ck, ck, tapi sekarang... coba lihat dia! Menatapku lemas, tapi aku tahu dia penuh amarah. Amarah untukku, mungkin? Tapi aku tidak peduli! Biar! Biar dia marah padaku! Aku membencinya! Dia pantas untuk itu!

Dia sering disebut bocah, mungkin karena sorot matanya yang masih bocah. Padahal, kalau aku bisa bertaruh, isi tempurung kepalanya lebih bocah daripada sorot mata, gaya berpakaian, gaya bicara, atau apapun itu.

Sekarang, si bocah jadi-jadian itu mengacungkan tangan, beradu telunjuk denganku, dengan perantara olahan pasir kwarsa yang sudah tidak jelas cembung atau cekung karena dimakan usia.

"Kamu," desisnya. Aku mendengarkan.

"Aku juga benci kamu." Katanya. Aku baru dengar, tapi aku tidak terkejut.

"Aku benci kamu, lebih dari kamu benci aku." Dia menelan ludah, aku tiba-tiba jadi haus. "Kamu, yang paling tidak bisa aku maafkan!" Lanjutnya.

ABERASI: Jiwa-Jiwa Dungu yang TersasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang