열일곱

1.1K 258 60
                                    

"Nggak, nggak..." Seonho berkali-kali mengetuk gerbang kayu rumah Guanlin yang menutupi hampir seluruh bagian rumah. Ia tidak bisa berpikir jernih kembali. Selepas dari rumah sakit tadi, Seonho hanya ingin segera menemui Guanlin, berharap yang ia tangkap dari perkataan suster di rumah sakit itu tidak benar. Namun, hingga berselang lima menit Seonho menunggu, Guanlin tak kunjung menemuinya. Bahkan, rumah sebesar itu terasa sangat sepi.



"Kak Guanlin nggak boleh pergi..." kakinya lemas, ia hanya bisa terduduk, membelakangi rumah Guanlin, "aku salah, seharusnya aku datang lebih awal.."



Menangis. Hanya itu yang bisa Seonho lakukan sekarang. Bahkan, air mata sebanyak itu kini bukan lagi apa-apa, tak sebanding dengan rasa sayang dan bersalahnya pada Guanlin.



Greeek



Grep



"Jangan menangis, aku nggak suka."



Seonho mendongak, tanpa melepas pelukan yang kini ia dapatkan setelah mendengar suara berat itu lagi, suara Guanlin.



"Aku khawatir, teleponmu nggak aktif," Guanlin mengeratkan pelukannya, "setelah Hyungseob bilang kamu nggak ada di sekolah, aku pikir kamu sakit."



"Kak Guanlin," Seonho membalas pelukan itu, sama eratnya, "aku nggak peduli ini ilusi atau bukan, aku cuma pengen peluk Kak Guanlin, itu saja."



Terasa kecupan mendarat di puncak kepala Seonho, "Hei, aku terlalu tampan untuk sebuah ilusi."



"Aku bodoh."



"Nggak, Seonho nggak bodoh, kok."



"Kalau saja aku bisa ketemu Kakak kemarin, aku nggak bakal berhalusinasi seperti ini. Kak Guanlin juga pasti tenang," Seonho mencoba tersenyum dan menahan isakannya.



"Seonho," Guanlin melepas pelukannya, menatap lekat Seonho yang masih setengah menunduk, "kamu belum percaya ini kakak?"



Seonho diam.



"Kamu janji bakal main bareng kakak lagi, kan? Ayo."



"Ini..." Seonho akhirnya mendongak sempurna, "benar Kak Guanlin?"



"Apa aku terlihat seperti pembohong?"



"Kakak... sembuh?"



"Kemoterapi yang kedua berhasil, 95% sel kanker dalam tubuh kakak sudah terangkat," Guanlin mengusap rambut Seonho, "makanya, aku boleh pulang sebentar, paman meninggal. Tapi, minggu depan, kemoterapi yang ketiga tetap dijalankan. Semoga itu yang terakhir."



Seonho hanya terdiam, terus meresapi perkataan Guanlin.



"Sekarang jelaskan ke kakak," Guanlin menghapus air mata Seonho, "selama ini kamu kemana?"







-Cigarette-







"Terus handphone kamu belum diperbaiki?"



Seonho menggeleng.



"Besok kakak belikan yang baru saja."



"Nggak, ah. Jangan kaya yang di drama-drama, dong, Kak!"



"Padahal kakak lebih romantis dari yang di drama," Guanlin kembali merebahkan diri di ranjang. Seonho membantu merapikan selimutnya.



"Woochan kemana, Kak?"



"Sama mama papa juga, masih di tempat paman. Mungkin nanti malam pulang."



"Ya sudah, Seonho temani sampai mama papa pulang," Seonho tersenyum, "karena besok sekolah, aku nggak bisa sampai larut di sini, nggak apa, kan, Kak?"



"Nggak apa-apa. Aku sudah senang, kok, ketemu kamu lagi," Guanlin bangkit, duduk dan bersandar di kepala ranjang, "Seonho, kakak mau ngomong."



"Ngomong aja, Kak."



"Aku mau kamu jadi pacarku, gimana?"








-Cigarette-







"Jihoon!"



"Apa?" Jihoon menjawab tanpa melepas pandangannya dari ponsel. Dari suaranya saja ia sudah yakin siapa orang yang memanggilnya, tidak usah repot memastikan.



"Ini apa, sih?" lelaki yang datang tiba-tiba itu mengibaskan map berisi lembar-lembar kertas di hadapan Jihoon, "Bu Irene minta kamu fotokopi soal ini buat kelasku, kan? Kok kamu cuma ngasih aslinya ke mejaku? Mana ada lembar yang hilang lagi."



"Hei, Bae Jinyoung," Jihoon akhirnya meletakkan ponselnya gusar, "ketua kelasnya, kan, kamu. Itu juga kelas kamu. Urus saja sendiri."



"Woojin dan Guanlin juga sekelas sama aku, nggak mau nurut kata Bu Irene untuk mereka juga?"



"Aku nggak peduli," Jihoon mengedikkan bahunya, "yang lalu nggak usah diungkit lagi, ngeselin."



"Terserah, deh. Sekarang, fotokopi, nggak?" Jinyoung melempar mapnya di depan meja Jihoon. Beruntung, di kelas Jihoon tidak ada siapapun kecuali mereka berdua, ini masih terlalu pagi untuk berangkat sekolah.



"Nggak. Pergi, deh."



"Untung kamu manis, Hoon." - Bae Jinyoung.



Jinyoung menahan emosinya dan segera berlalu. Aneh, Jihoon merasa tidak enak setelahnya.



"Eh!" Jihoon berlari dan menggapai tangan Jinyoung tepat selangkah lelaki berkepala kecil itu melewati pintu kelasnya, "ya sudah, ayo aku temani fotokopi."







-Cigarette-







"Kak Guanlin nembak aku."



Brusssh



"Kak Hyungseob, jorok!" Seonho refleks mengambil tisu di meja kantin dan membersihkan sekelilingnya dari semburan es jeruk Hyungseob.



"Yang benar kamu, Ho? Guanlin bilang apa? Kasih kamu bunga dan cin-"



"Terus kamu jawab apa?" Minhyun memotong pertanyaan Hyungseob dengan segera, tatapannya serius.



"Aku belum jawab, Kak," Seonho tersenyum kikuk, "Kak Guanlin kasih kesempatan Seonho pikir jawabannya. Sepulang sekolah nanti Seonho akan jawab."



"WAHH, kamu mau jawab apa, Ho?" Hyungseob antusias, berbanding terbalik dengan Minhyun.



"Tentu saja, ya."

Cigarette +guanhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang