4 ○ Camer

902 186 26
                                    

Sorry for typo

27/01/18



Tahu apa yang terjadi setelah bertemunya aku dengan Kinza semalam?

"Cieee... Ana cie sama Kinza aw, aw!"

Sial. Seharusnya aku tidak memberitahu soal pertemuan itu pada Rami. Gadis itu ternyata memiliki kekuatan terpendam, jadi cupid alias mak comblang. Sejak pagi datang sekolah aku terus diledek seperti itu, ditambah teman-teman lain yang terprovokasi oleh si mak comblang.

"Kamu dari kemarin ngomongin Kinza mulu. Kenapa? Suka, kan?"

Dicecar begitu aku mendelik. "apa deh? Suka apa?"

"suka sama Kinza. Iya, kan?"

Kemudian kembali terulang dengan "cie cie" dan jodoh-jodohan lainnya. Segitu Kinza yang biasanya datang di akhir waktu belum mendengar dan tahu apa yang Rami lakukan. Membayangkan aku di cie—ciekan dengannya tepat di depan wajahnya membuatku malu.

Apa sih, aku terdengar sebegitu bahagianya bertemu dengan dia semalam? Rasanya tidak. Aku hanya memberitahu bahwa aku bertemu dengan Kinza di fotocopy dekat rumah, oke, agak antusias karena aku belum pernah bertemu dengan anak satu sekolah, satu angkatan, dan satu kelas di daerah sekitar rumahku sebelumnya.

"rumah lo dimana?"

Kinza menyebutkan nama komplek yang cukup jauh dari tempat fotocopy tapi memang memiliki jalan pintas. Dan aku kaget.

"loh, ngapain jauh-jauh ke sini? Emang di sana nggak ada fotocopy, gitu?"

"nggak apa-apa, mau aja," jawabnya. "lagian naik motor ini jadi nggak jauh-jauh amat."

"tapi lewat daerah sepi itu, nggak sih? Yang ada kuburannya?"

Kinza mengangguk.

"nggak takut tiba-tiba ada penampakan? Rumah di jalan situ ada yang kosong juga, kan, yang pintu depannya dilukis sosok kuntilanak sama orang?"

"Ooh... itu... iya ada. Tapi ngapain takut sih? Biasa aja kali, paling hantunya terpesona sama gue."

Derai tawa kemudian mengisi kekosongan. Aku baru tahu ternyata dia narsis juga.

"rumah lo sendiri dimana?"

Aku menunjukkan komplek yang hanya berjarak seratus meter dari fotocopy.

"loh, di situ? Kalau nggak salah rumahnya Ale juga di situ deh."

"Ale siapa?"

"Alvin. Alvian Insantyo. Temen sebangkuku."

"Oh... Alvin? Tahu, tahu."

"Nanti kalau gue main ke rumah Ale mampir, ya. Mau minta nasi goreng, hehe."

Dan aku terkekeh mengiyakan. Sedikit bingung juga, kenapa sepertinya Kinza begitu terpukau dengan nasi gorengku. Kupikir rasanya tidak se wow nasi goreng di perempatan tak jauh dari rumah atau yang lewat dengan gerobak di dorong dar komplek ke komplek. Hanya resep keluarga meski kuakui dikembangkan oleh pa'deku yang merupakan seorang chef.

Mungkin karena aku sudah terbiasa? Entahlah.

Bel sekolah tanda masuk dan persiapan sebelum upacara tiba-tiba berbunyi nyaring mengisi setiap penjuru sekolah. Bersamaan dengan itu, aku melihat sosok Kinza dengan gaya urakan—rambut berantakan, wajah mengantuk, baju yang belum dimasukkan, dasi yang dipasang asal-asalan, serta lengan panjang pada seragam yang tidak dikancing—masuk ke dalam kelas. Sambil menyengir lebar menyerukan sapaan selamat pagi.

Rami seketika menyenggol lenganku. Gadis itu tersenyum mencurigakan, terlihat seperti senyum setan di mataku.

Sial lagi. Aku tahu apa yang ada di pikirannya.

"Kinza!"

Ya Tuhan, tolong. Kenapa aku harus memiliki teman seperti Rami?

"Semalem ketemu Ana, ya, di fotocopy?"

Laki-laki yang baru meletakkan tas di mejanya itu berjalan mendekat. "Hah? Oh iya," ia menghadapku, tersenyum lebar. "Halo semalem kita ketemu."

Aku hanya mengangguk, membalas senyumnya dengan senyum kecut.

"Ciaaa... beneran ketemu. Ngapain aja semalem? Janjian?"

Alih-alih risih ataupun kesal Kinza malah terkekeh, meladeni Rami yang tak bisa diam juga. "Semalem? Ketemu Mamanya Ana."

"Ha? Ketemu calon mertua, dong?"

Rami sialan. Rasanya aku ingin menerkamnya sekarang juga. Paling tidak membekap mulutnya dengan lakban hitam atau kain bekas. Aku sudah panik Kinza akan berpikir yang tidak-tidak atau berujung menudingku, tapi yang ada malah...

"Iya, ketemu calon mertua."[]

K I N Z A ●Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang