33 ○ Percakapan duo A

516 119 34
                                    

29/09/18
Udah nggak update sebulan woey rekor!!!!

Aku belum pernah mengobrol berduaan dengan Alvin sebelumnya. Selalu ada Rami atau Kinza yang menemani, atau mungkin anak kelas yang lain. Kalau dibilang dekat atau tidaknya aku dan Alvin ini dekat, kok.

Dia suka menjahiliku karena duduknya tepat di belakangku. Mendorong bangkuku dengan kaki-kaki panjangnya, mencolek dengan pulpen lalu belagak tak terjadi apa-apa, atau tiba-tiba menyenggol, mengajak tos, membuat isyarat hati, juga menarik bajuku iseng.

Tetapi dari sekian banyak hal, aku nelum pernah duduk berdua dengan Alvinㅡbenar-benar berduaㅡdan terlibat dalam omongan serius.

"Na, kalau misalnya ada cewek curhat ke gue soal doinya, itu maksudnya apa, ya?"

Oh, ceritanya Alvin sedang curhat...

"Lagi butuh pelarian, mungkin? Atau nyari solusi ke sesama cowok..." jawabku asal. Lagipula kenapa bertanya ke amatir seperti aku, sih?

Alvin hanya ber'oh' datar dan memandang lurus ke lapangan. Ada lima anak kelas sebelas yang sedang bermain basket di sana. Salah satunya Kinza.

Hh...

Lepas pulang dari rumah Alvin kemarin, aku masih memikirkan ucapan maaf yang keluar dari mulutnya. Mempertanyakan 'apa sih maksudnya?' Kenapa pula dia minta maaf kalau nggak ada yang perlu dimaafkan?

Bahkan tadi pagi, saat baru datang ke kelas dan bel masuk berbunyi nyaring, aku lamat-lamat mendengar kata maaf lagi dari mulutnya. Ingin bertanya tapi takut. Lagipula setelahnya si lelaki satu itu sudah sibuk dicerca Rami. Berbisik-bisik ria, padahal kedua indra pendengaranku masih bisa menangkap sinyal suaranya dengan baik.

"... itu temen smp gue kok, yang di snapgram ..."

Oke.

"... na."

Aku terkesiap. "Apa?"

"Cewek kalau dikasih hadiah sukanya apa?"

"Uang."

"Anjir. Matre."

Demi melihat wajah Alvin yang kaget dan sedikit menjauh, aku tertawa. Padahal hanya bercanda, tapi reaksinya bisa sekaget itu. Apalagi mata melotot milik Alvin.

"Lo juga kalau dikasih hadiah uang seneng, kan, Le?" Tanyaku masih tertawa.

"Semua orang juga seneng dikasih uang mah, Na."

"Ya udah, itu tahu."

Alvin berdecak. "Tempe aja deh, gue mah," dumalnya. "Nggak asik ah lo, dimintain saran juga. Matre sih."

Sialan.

"Emangnya lo nggak matre, apa?"

"Nggak, lah," sombongnya.

"Tapi ke rumah Kinza ngerampok makanan, ya?" Aku tertawa.

Jari telunjuk naik dan bergerak ke kanan-kiri seraya gelengan menolak. "Beda,  Na. Yang itu namanya rezeki bukan matre. Kalau ada yang gratis mengapa tidak?"

Untuk beberapa saat baik aku dan Alvin sama-sama terkikik. Topik yang dibahas perlahan melenceng dan ambigu. Kalau sudah seperti ini sih bisa-bisa Alvin kembali ke mode gilanya...

Eh, tapi kan masih dalam tahap curhat, kan ya? Tampangnya serius begitu...

"Ya udah kasih cinta aja, Vin," cetusku yang lagi-lagi asal. Memang mulutku ini seperti tidak memiliki rem.

"Cinta, na?" Untuk yang kedua kalinya Alvin memasang wajah yang samaㅡkaget dan tak percaya, tapi kali ini lebih ekspresif lagi.

Aku mengangguk. "Termasuk matre nggak tuh?" Godaku.

Alvin malah mencobir. "Udah, dikasih cinta mah. Setiap hari juga gitu..."

Yah, kok jadi galau gini?

"... nggak peka aja orangnya ..."

Aku diam-diam menatap profil samping Ale. Kalau sedang serius dan galau begini kok kelihatan waras, ya? Seperti kerasukan, karena punya sifat yang berbeda dengan si konyol ale yang biasanya.

"Galau le?" Tanyaku polos.

Padahal aku benar-benar memastikan, tapi nggak sengaja membuat kerasukan Ale sirna.

"Nggak, Na! Lagi masak aer biar mateng!" Serunya.

"Ih, kok ngegas?" Sahutku. Lama-lama mirip Rami kalau bertengkar dengan Ale, deh.

"Ngegas mah naik motor, noh! Sama si Kinza!"

Seketika hening.

Wajah ale menampilkan rasa bersalah sekaligus kaget, seakan menyuarakan "kenapa gue ngomong itu?!" Sedangkan aku menatapnya dengan tatapan "kenapa jadi ngomongin Kinza?"

Tapi tolong, deh. Hanya karena satu namaㅡtepatnya nama satu laki-laki yang sedang songong main basket di lapanganㅡsuasana jadi canggung dan aneh bak di kuburan.

"... diem-dieman sama si Kinza ya, Na?"

"Hah?"

"Nggak usah pura-pura budeg..."

... kok rese?

Tapi aku tetap menjawab. "Nggak ..."

Nggak tahu. Antara aku yang takut sama Kinza yang menjauh.

Apa, sih? Kenapa rasanya jadi runyam dan mendramatisasi banget? Memangnya ini diawali oleh apa?

"Bohong."

... gara-gara snapgram?

... gara-gara Kinza ngajak aku pergi nyari kado buat Adira?

... gara-gara dia bilang ...

"Heh?!"

"Apa anjir! Ngagetin!" Seru Alvin. "Bener kan, bohong? Lagi diem-dieman gara-gara snapgram nih pasti?!"

Aku yang tersadar sudah berseru tiba-tiba menatap Alvin. Snapgram?

"Nih, gue kasih tahu ya, sesama pasien galau. Cewek yang di snapgramnya si Kinza kemaren itu mantannya," jelas Alvin. "Tapu tenang jangan potek dulu hatinya. Dia jalan bertiga kok, sama mantannya yang lain."

Akhir kata, suara Alvin terdengar begitu lirih. Dia melirikku yang diam saja sekilas, sebelum kembali melanjutkan dengan menggebu-gebu. Sudah seperti rapper saja.

"Iya, emang goblok banget emang manusia satu itu. Gue aja sebagai temen nggak ngerti otaknya di kepala atau di jempol kaki. Tapi setahu gue dia temenan sama dua mantan pacarnya pas SMP itu. Bener-bener pure temenan, kok. Jangan khawatir. Lagian udah pada punya pacar juga."

Kalau ditanya apa yang terlintas di otak, aku nggak bisa jawab. Apa ya... mungkin ke pertanyaan "kok bisa mantan-mantanan gitu bersatu?" Dan soal Kinzanya, aku nggak tahu, tapi...

"Cemburu nggak Na?" Tanya Alvin pelan dan takut.

"Cemburu apa?" Aku balik bertanya.

"Sama si goblok Kinza," jawabnya. "Lo suka sama Kinza, bukan?"

Butuh tiga detikㅡyang terasa seperti berpuluh-puluh menitㅡuntuk menetapkan hati dan menjawab pertanyaan Alvin.

"Nggak, kok Le," jawabku sambil tersenyum.

Aku sudah memutuskan; aku dengan laki-laki yang tertawa sambil melakukan selebrasi di lapangan itu... hanya teman. Iya, teman.[]

K I N Z A ●Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang