10 ○ Lambaikan Tangan ke Kamera Saya Nyerah

642 147 13
                                    

sorry for typo

17/02/18


Minggu-minggu awal jadi anak kelas sebelas itu... serius, masuk salah satu list waktu terberat dalam hidup. Salah satu faktornya mungkin adaptasi, pembiasaan dengan pelajaran baru, guru-guru baru, cara belajar yang baru, segala hal baru. Aku yang kelas sepuluh dulu terkesan santai dengan guru yang nggak ribet serta tugas yang nggak terlalu numpuk berubah jadi stress.

Frustasi sendiri kalau lagi nyusun tugas apa aja yang ada selama seminggu belajar di sebuah buku kecil yang sengaja kubuat. Kertas HVS yang kurobek menjadi ukuran yang sama, kujahit tengahnya sebagai penghubung hingga berbentu buku, kubuat sampul dari kardus bekas dilapisi lukisan abstrak hasil keryaku dulu ditambah tulisan Nevermind di depannya. Demi list tugas.

Tapi ya, mau sebagaimanapun kutulis Nevermind, tetap saja isinya tidak bisa aku Nevermind-kan begitu saja. Yang ada malah kepikiran terus. Pokoknya selama seminggu itu PR minimal ada sepuluh dari 15 mata pelajaran. Dan beberapa pelajaran punya jadwal yang berdekatan. Contohnya ekonomi. Jadwalnya selasa pagi dan rabu pagi. Kalau ada tugas merangkum, mampuslah aku.

Masalahnya adalah kadang aku merasa hanya aku yang frustasi sendiri, memikirkan tugas yang menumpuk sementara teman-teman lain asyik berhaha-hihi, bermain game, atau bahkan kejar-kejaran demi balas dendam kejahilan. Aku sudah bilang belum kalau kelasku yang lama-lama semakin bersatu ternyata berisi manusia-manusia abstrak yang tidak bisa diam?

Sebalnya saat malam sebelum hari H pengumpulan tugas biasanya grup kelas ramai dengan mereka-mereka yang meminta jawaban. Dan aku, salah satu manusia yang mereka bilang rajin itu selalu menjadi sasaran.

Setiap malam, kira-kira jam sembilan hingga jam sepuluh mulai dari absen satu hingga absen terakhir—oke, ini sebenarnya berlebihan—akan mengirim pesan pribadi lewat line. Isinya sama, minta jawaban tugas. Mau itu fisika, kimia, biologi, matematika, bahkan saat ada tugas sepele macam Bimbingan Konseling sekalipun. Dan itu, salah satu yang membuat aku frustasi.

Na, udah kimia belum?

Matematika udah?

Fotoin catatan bio dong

Yang terakhir itu, gila. Catatan biologi bisa sampai 20 halaman, dan lo nyuruh gue untuk moto?! Kuota gue apa kabar??

Kemudian malam ini. malam terkrusial yang bikin aku ngebatin, 'aku nggak mau sekolah' dan 'aku nggak mau bangun besok' atau 'bisa nggak sih, waktunya diberhentiin dulu?'.

Dari pulang sekolah, tanpa mandi atau makan terlebih dahulu aku sudah berkutat dengan tugas besok. Matematika wajib, matematika minat, fisika, dan bahasa Inggris. Gila. Yang bikin jadwal punya niat mau ngebunuh, kayaknya.

"Dek, makan dulu yuk. Dari siang belum makan, bukan?"

Mama sempat melongokkan kepala ke dalam kamar, mengajak untuk makan yang langsung ku tolak.

"Mau nyelesaiin tugas dulu, Ma. Takutnya nggak keburu."

Tapi sampai jam sepuluhpun tugasku nggak kelar-kelar. Perut keroncongan, muka kusut, haus, dan kepala keliyengan saking banyaknya mikir. Mau nangis tapi air matanya sama sekali nggak keluar. Hidupku gini amat, sih?

Na, matematika wajib udah? Nomor tiga kok aku nggak nemu jawabannya, ya?

Pukul sepuluh lewat lima, pesan dari Kinza masuk. Aku nggak tahu apa ini gerak reflek atau bukan, tapi tanganku buru-buru mengambil handphone dan membalas pesannya—berkata belum selesai. Sesaat kemudian ia mengirim jawaban matematika wajib yang sudah selesai. Kalau aku sanggup kayang mungkin aku akan melakukannya. Karena serius, ini ngebantu banget.

Itu wajibnya, Na. Nomor tiganya aja yang jawabnnya beda sendiri, nggak ada di pilihannya.

Kemudian aku membalas,

Makasih kinzaaaa.... asli aku pengen nangis ini akhirnya yang bikin frustasi dapet jawaban juga

Akhirnya bisa makan juga :"(

Yang tidak aku sangka adalah, setelah aku mengirim jawaban fisika pada Kinza yang bisa kubilang sebagai terima kasih, sebuah telfon masuk. Dari Kinza.

Ini apa? kepencet?

"Halo, Na?"

Aku mengernyit. "Kenapa? Kok nelfon? Kepencet bukan?"

"Iya, hehe. Jarinya tisoledat mencet tombol telfon. Kepeleset," ada suara kekehan khas Kinza yang terdengar. "Eh, kamu nggak beneran nangis kan? ya masa, sih, Na, dikirim jawaban aja nangis?"

Tapi Kinza, aku beneran nangis sekarang. Meski bukan nangis cengeng yang sampai meraung-raung. 

"Nggak, kok, nggak nangis," jawabku diantara isak kecil.

"Nggak boleh bohong, Biana. Nanti hidungnya panjang," candanya yang berhasil membuatku terkekeh. "Udah eh, jangan nangis. Tugasnya masih banyak, nangisnya di pause dulu."

Aku menghela nafas. "Aku capek... tugasnya terlalu banyak..."

Dan tangisku makin deras. Sebenarnya aku sudah menahan ini sejak tadi. Memendam sendiri dan berusaha melupakan walau pada akhirnya runtuh juga. Tapi kenapa harus Kinza, sih? Kenapa dia harus menelfon dan mendengarnya?

Ada beberapa saat aku masih terisak dan Kinza terus menenangkanku ditambah kata-kata motivasi yang kalau berada di situasi normal rasanya mustahil seorang Kinza bisa mengatakan hal semacam itu. Hingga Kinza tiba-tiba berujar, "Nangisnya game over nggak nih, Na? Si ale-ale sama tali Rami minta jawaban ke aku. Kita bikin grup aja, kali, ya. Buat ngegila bareng?"

Tak lama notif undangan grup bernama lambaikan tangan ke kamera saya nyerah muncul.

"ini kenapa namanya gini, sih?" tanyaku dengan suara serak, plus kekehan kecil.

"Nggak pa-pa, biar rame."

Dan benar saja. ketika semua sudah bergabung, notifikasi tak henti-hentinya berdatangan. Chat mengalir deras, lengkap berisi kata pujian, umpatan, dan sebagainya. Setidaknya malam ini aku  dapat hiburan baru...

Terima kaish Kinza.[]


K I N Z A ●Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang