7 ○ Bahasa Indonesia

706 149 14
                                    

sorry for typo •
• 04/02/18

Mari membaca basmalah sebelum membaca 🙏

Semenyebalkannya guru, aku nggak pernah berani durhaka. Nanti ilmuku nggak berkah, atau malah karma yang datang menghambat proses kesuksesanku.

Motto itu, sebuah prinsip yang kupegang teguh sejak dulu.

Tapi kalau gurunya benar-benar menyebalkan, lebih menyebalkan dari sekedar menyebalkan—menyebalkan akut, stadium akhir, siaga empat sebelum bencana—rasanya kadang ingin kulempar tempat minum atau paling tidak pulpen saat ia menjelaskan di depan.

Masalahnya, dia nggak pernah menjelaskan apapun.

"Asli, tuh guru pengen gue lempar pakai cutter terus nancap di kepalanya. Atau bunuh pakai pulpen, tusuk-tusuk lehernya sampai mampus." Gumam Kinza disahuti cara-cara membuat mampus seorang guru bahasa Indonesia lainnya oleh Alvin.

Aku dan Rami menoleh cepat sambil ber "Heh," sepelan mungkin—takut ketahuan. Sementara itu Bu Linta mengoceh panjang kali lebar sama dengan luas dan dikali tinggi sama dengan volume.

"...nanti buku tulis kalian ada dua, satu buku catatan yang di depan dan yang kedua buku tugas. Sekelas sesuaikan ukurannya—harus sama. Jangan lupa di sampul batik yang seragam dan sampul plastik juga. Bukunya disatuin ya, ngerti?"

Anak-anak kelas menjawab bersama.

"Kalau sudah, nanti di halaman pertama tempel pas foto kalian. Harus pakai seragam sekolah, gayanya formal. Bawahnya tulis biodata kalian seperti yang di papan tulis—nama panjang, nama panggilan, TTL, hobi, dan sebagainya. Di bawahnya jangan lupa tanda tangan. Lalu di buku tugas halaman pertama, cantumkan foto kelompok kalian. Gaya boleh bebas asal senonoh..."

Kelas ribut sejenak, disambut candaan garing agak menjurus oleh Ibunya.

"...bawahnya kasih nama kelompok—oh iya. Tugas pertama kalian cari sastrawan indonesia sebagai nama kelompok. Ada yang sastrawan lama dan modern. Kalau sudah, buat biografi sekaligus powerpoint. Pertemuan selanjutnya sudah di print dan siap dipresentasikan..."

Kali ini keluhan, umpatan dan sumpah serapah. Lagi-lagi hanya sesaat, karena Bu Linta sudah mengomel dan melanjutkan ocehannya.

"Nanti," ia menekankannya. "Nanti di buku tugas halaman pertama di bawah foto kelompok tulis nama kelompok dan anggotanya siapa saja. pinggirnya jangan lupa di kotakkin pakai penggaris yang rapih. Mengerti?"

Kemudian setelah dijawab, epilog sebentar, Bu Linta dengan kemeja putih, rok biru dan pasmina pink yang selalu dipakainya setiap hari Rabu melenggang pergi keluar dari kelas. Memberikan kesempatan bagi penghuni kelas untuk mengumpat, menyumpahi, dan menyerapahinya.

"...Hewir anjir!"

"Titisan medusa dia teh."

"Linta anj..."

Pokoknya kata-kata tidak sopan, tidak senonoh, kata-kata yang harus di sensor jika di tayangkan di televisi—itupun kalau channelnya masih waras. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, tidak habis pikir bisa menemukan guru se-ribet dan se-perfeksionis dia. Oke, menggunakan kata pengganti dia daripada beliau, aku mulai... tidak menyukainya.

Bel tanda istirahat yang memenuhi koridor-koridor, menyusup melalui celah dengan udara sebagai perantara bunyi ke dalam kelas baru membuat suasana kembali kondusif. Anak-anak berhamburan, ke kantin, kelas lain, mengisi koridor-koridor dan kekosongan sejak jam pertama di mulai. Seperti biasa aku akan menikmati bekal bersama Rami di tambah Evelyn dan Athia. Sambil mempersiapkan Rami masih mengomel mengenai Bu Linta.

"Gila ya, tuh guru. Peraturannya pula. Oke, soal nggak boleh berisik itu wajar. Tapi..."

Duh, peraturan.

Tadi Ibu itu mengumumkan beberapa peraturan. Pertama, nggak boleh berisik saat ibunya berbicara. Kedua, no gagdet. Nggak boleh main gawai kecuali dibutuhkan. Masih aman. Yang ketiga ini. dilarang datang terlambat, dilarang makan, dilarang minum, dilarang melakukan apapun ketika ibu datang. Yang melanggar di suruh membuat puisi di tempat, improfisasi, langsung dibacakan di depan kelas. Temanya sesuai dengan apa yang di langgar. Misalnya aku sedang makan ketika ibunya datang, maka aku akan membuat puisi bertema makanan yang kumakan—udang misalnya.

"Serius. baru sekali ini gue benci banget sama guru," gumam Athia dengan sendok bulat di tangan kanannya.

"Ekspresinya songong, anjir. Mentag-mentang guru dari SMA terkenal," Sahut Evelyn merujuk pada kalimat yang selalu ada di setiap pertemuan; menyebutkan sekolah terkenal tempat aslinya mengajar ddan kalimatnya jujur saja seperti merendahkan.

Bu Linta ini katanya hanya sementara mengajar di sekolahku. Membayar jasa atas sesuatu atau bagaimananya aku tidak tahu. Yang pasti ada yang berkata bahwa masa ajarannya akan habis tahun depan, dan itu membuatku bertanya-tanya. Kenapa angkatanku yang harus merasakan diajarnya?

"Eh, Kinza! Nanti jangan lupa foto ya!" Aku berseru ketika melihat laki-laki itu dengan lincahnya berlari menuju pintu kelas. Dia pasti mau ke kantin, dengan Alvin yang menunggu di luar kelas.

"Apa? foto prewedding?" ia membalas, sejenak kemudian berseru oke dan menghilang dari balik pintu. Menyisakan aku dengan seruan cie dan sebagainya—seperti yang biasa terjadi—serta tubuh mematung dan pikiran blank.

Apa, sih?[]

K I N Z A ●Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang