8 ○ Sejarah [Satu Hari Duduk di Samping Kinza]

716 152 50
                                    

• Sorry for typo •
11/02/18

First of all, sorry telat.
Second of all, sorry kalau kebanyakan narasi.
Third of all, otakku lagi rada-rada jadi sorry kalau absurd.
After all, Enjoy!


Hari itu Rami nggak masuk, begitu pula Alvin. Aku nggak tahu apa mereka janjian untuk bolos bareng dan berhaha-hihi ria ke mall atau tempat lain—misalnya—karena kok bisa nggak masuk barengan?

Oke, mereka nggak bolos tapi izin. Kalau alfa pasti langsung di suruh ngepel kelas atau bersihin jendela saat masuk nanti. Plus wejangan panjang kali lebar oleh wali kelas terbaik, Mamihnya IPA 2—aku benar-benar nggak ngerti kenapa anak-anak manggilnya begitu tapi ya sudah lah.

Masalahnya adalah, dengan tidak masuknya Rami dan Alvin, bangku di sebelahku dan di sebelah Kinza kosong. Secara harfiah aku duduk sendiri, Kinza juga begitu. kemudian secara otomatis, kami akan duduk bersama.

Aku ulangi, duduk bersama. Seharian. Belajar di samping seorang Kinza Adyatma Bagaskara selama sembilan jam.

"Eh, sama-sama jomblo nih. Duduk bareng, ya?"

Seperti biasa ketika bel berbunyi sosok itu baru masuk ke dalam kelas dengan dandanan khasnya dan berjalan lurus menuju tepat kepadaku. ia bertanya, dan tanpa menunggu jawabanku sudah meletakkan tasnya pada bangku di sebelahku. Membuatku melongo di tempat dan mengerjap tak mengerti.

Jujur saja ini terasa lebih berat daripada duduk di depan Alvin dan Kinza yang terus melakukan hal konyol selama setahun penuh. Seumur-umur aku tidak pernah duduk di samping laki-laki saat pembelajaran dan ini membuatku merasa tegang—rasanya seperti berada di puncak roller coaster dan bersiap untuk jatuh dan diputar-putar mengikuti lintasan yang ada.

Duduk tegap, tidak berani bernafas karena takut terdengar begitu keras, dan tidak berani melirik kesana-kemari kecuali lurus menghadap papan tulis. Jangankan mengambil buku di dalam tas. Menyentuh botol minum pink yang kuletakkan di ujung meja—perbatasan dengan meja Rami yang seharian itu dipakai Kinza—saja aku tidak bisa.

Padahal ini sudah cukup lama sejak aku, Alvin, Rami dan Kinza menjadi dekat. Tapi serius. rasanya benar-benar awkward. Kinza yang biasanya terus berceloteh dan tidak bisa diam juga mendadak seperti robot yang kehabisan baterai. Dia hanya membalas cie-ciean anak-anak yang tidak pernah berhenti soal kami yang duduk bersama dan sama sekali tidak membuka percakapan atau mencairkan suasana seperti yang biasa terjadi.

Tidak ada gombalan-gombalan cheesy ataupun hal-hal konyol bertema fantasi yang keluar dari bibir berbentuk unik itu.

Tunggu. Kenapa ini jadi terdengar menggelikan?

"...kemarin buku tulisnya belum dibagiin, kan?" guru Sejarah yang hari itu mengajar di jam pertama bertanya. "Tugasnya belum selesai di koreksi, jadi sementara ibu ngoreksi kalian jangan ribut, ya. Yang tulisannya aneh-aneh dan nggak sesuai siap-siap aja maju ke depan."

Menanggapi hal tersebut aku hanya mengangguk. Agak bingung juga harus melakukan apa karena tubuhku masih saja kaku. Bisa tidak sih, laki-laki di sampingku ini pergi untuk sesaat sehingga aku bisa bernafas dengan benar?

Nggak, na. Nggak bisa.

Ketidak beruntunganku karena Kinza malah menidurkan kepalanya di atas meja, beralaskan kedua lengannya dengan arah ke samping kiri alian ke arahku. Untuk beberapa saat kedua netra jernih itu seakan menatapku lekat-lekat—atau mungkin hanya perasaanku—membuatku tambah tidak bisa bernafas dengan benar dan buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain. Serius, aku merasa aneh.

"Na, pinjem pembolong kertas..."

Di saat aku sedang memperhatikan kerusuhan kecil di meja Upik dan Fakhri—duo sejoli lain yang biasa di sebut pasangan menyebalkan—yang sedang berebut jaket dan kacamata hitam Evelyn memanggil. Waktunya sama sekali tidak tepat karena justru aku sedang menghindari Kinza sementara temanku yang satu itu duduk tepat di depannya.

Pinjamnya bisa nanti, nggak, lyn?

Mau memohon-mohon seperti itu juga akhirnya aku merogoh tas, mengeluarkan pembolong kertas kemudian dengan hati-hati kembali memutar badan untuk memberikannya pada Evelyn.

Tapi...

"Eh? Tidur?" tanpa bisa di tahan aku bergumam pelan ketika melihat Kinza dengan posisi yang sama terlelap.

"Ssst..." baik Dita dan Evelyn berdesis sambil menempelkan telunjuk pada bibir.

Apa aku terlalu kencang?

Selepas memberikan pembolong kertas pada Evelyn dan kedua teman sebangku itu kembali sibuk dengan urusannya masing-masing aku menemukan diriku memperhatikan Kinza yang tertidur. Menyusuri setiap inci wajahnya yang terlihat begitu damai, menatap matanya yang tertutup, bibir yang sempat mengerucut sebelum kembali seperti semula dan pergerakan pelannya mencari posisi nyaman.

Dia benar-benar terlihat seperti bayi. Aku bahkan tidak tahan untuk tidak mengusap rambut acak-acakannya. Untung saja ketika tanganku tanpa bisa di tahan menjulur untuk meraihnya, suara Bu Hesti menginterupsi.

"Anak-anak, sekarang kita bagi kelompok untuk presentasi minggu depan, ya!"

Bersamaan dengan itu Kinza terlonjak bangun. Gila, gila, gila. Aku reflek menarik tangan. Dia tidak lihat, kan? Ya Tuhan tolong aku...

"Aku tidur?" dengan wajah mengantuk ia bertanya kepadaku.

"Eh? I-iya."

"Serius?"

Aku mengangguk pelan.

"Ketahuan Bu Hesti nggak?" dia bertanya lagi.

"Nggak kok..."

"...kelompoknya sesuai tempat duduk aja, ya, berdua-berdua..."

Eh? Serius? Berdua-berdua? Aku dan Kinza satu kelompok, dong?

"Kelompok satu, Hana dan Ami presentasi faktor-faktor pemicu penjelajahan samudera bangsa Eropa. Kelompok dua, Zea dan Ayu tokoh-tokoh penjelajahnya. Kelompok tiga, Ana dan Kinza..."

Kata-kata Bu Hesti terpotong oleh sorak sorai anak sekelas, seperti biasa.

"Couple kelas ini..."

"Udah, jodoh mah nggak kemana!"

"Salting nih, salting!"

"Jadi judul sinetron anjir, Cintaku berawal dari kelompok sejarah."

"...yang elit dikit napa, drakor, drakor!"

"...Ana dan Kinza presentasi Masa Penjajahan Portugis," Bu Hedti melanjutkan setelah agak tenang. "Kelompok empat..."

Aku menghela nafas. Oke. Another way to stuck with Kinza. Again. Ini kebetulan atau takdir, sih? Rasanya seperti drama. Untuk pertama kalinya setelah beberapa saat aku berani menggerakkan diri demi meraih tempat pensil dan mengeluarkan pulpen pink dari dalamnya. Dengan binder kecil yang selalu kubawa setiap hari di atas meja, aku memberanikan diri untuk menatap Kinza.

"Jadi gimana?" tanyaku.

Laki-laki itu bukannya menjawab malah balik menatapku. Dan suasana lagi-lagi terasa begitu awkward.

"Tadi ibunya bilang ada Tutor dan Sebaya pas lo tidur. Tutor yang nyari materi dan bikin ringkasan untuk dikasih ke ibunya, terus ngajarin Sebaya. Kalau Sebaya nanti dia yang menjelaskan ke teman-teman yang lain," jelasku sambil mencorat-coret binder asal. "Lo mau jadi tutor atau sebaya?"

"Eh? eung... sebaya aja deh."

Aku mengangguk, lantas menyibukkan diri untuk menulis sub materi yang akan di presentasikan di buku. Menyebabkan hening melanda hingga Kinza tiba-tiba mengerang seraya berseru pelan.

"Arrghhhh! Awkward!" aku menoleh kaget. "Na, awkward banget nggak sih kita, dari tadi? Asli nggak tahan, tapi aku nggak tahu harus ngomong apa. Aneh, kan? Kinza hari ini aneh banget, Ya Tuhan kenapaa..." kemudian laki-laki itu mengacak-acak rambutnya sendiri.

Serius, aku bingung. Ini Kinza kena...

"Na, ngomongnya jangan pake gue-lo ya, kalau cuman berdua. Nggak nyaman. Aku Kamu aja biar nggak awkward. Oke? Oke?"

Sementara Kinza mengacungkan ibu jari dan membuat tanda oke secara berulang, aku takut headline berita yang muncul siang ini adalah siswi SMA yang jantungan akibat teman sebangkunya...[]









Btw aku ingin bertanya. Kira-kira visualisasi Rami siapa ada yang mau saran??

K I N Z A ●Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang