19 ○ Bahasa Indonesia :: Gagasan?

460 120 10
                                    

Sorry for typo
12/04/18

Sebuah pertanyaan pelan yang lolos dari mulut Rami dengan begitu mudahnya itu membuatku mau tak mau menoleh. Seketika menghentikan aktivitas membilas peralatan sehabis praktek memasak, kaget. menatap bingung sosok yang menunggu jawaban dengan penuh harap itu.

"Maksudnya?" Aku balik bertanya.

Wajah cerahnya luntur seperti kertas bertinta yang diterpa hujan. Rami menghembuskan nafas seraya membenarkan posisi berdirinya. "Ya... lo kebawa perasaan, gitu, Na. Deg-degan nggak jelas terus kepikiran bahkan kebawa sampai sebelum tidur, kebawa mimpi. Pernah, nggak?"

Aku mengernyit. "Nggak." Jawabku. Sebenarnya itu lebih terdengar seperti pertanyaan untuk meyakinkan daripada jawaban, sih. Karena kalau di tanya gimana perasaanku, aku bingung harus jawab apa...

"Yang bener?"

Didelik begitu, aku mengangguk patah-patah.

"Nggak bohong, nih?"

Aku mengangguk lagi.

"Hebat, ya, lo. Udah digombalin banyak gitu hati tetap strong," Rami berkacak pinggang, menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu kembali ke ujung rambut lagi.

Aku nyengir. Sebenarnya lebih untuk menyelesaikan obrolan dengan topik ini juga kembali melakukan tugas sebelum pulang. Dan sepertinya Rami mengerti. Kami pergi ke ruang tamu tempat tas disimpan lima menit kemudian, hanya menemukan Kinza sedang memakai jaket. Putri dan Nata memang sudah pamit terlebih dahulu. Sedangkan Alvin...

"Loh, si Ale-ale mana?" Tanya Rami begitu tak melihat laki-laki yang hari ini ia nyatakan sebagai tukang ojeknya di ruang tamu.

"Balik duluan, Mi. Dimarahin Mamanya, dia. Suruh jemput ke Giant dulu." Jawab Kinza. Laki-laki itu berdiri dari duduknya dan melangkah menjauh dari ruang tamu, ingin meminta minum.

Sambil ber-oh pelan Rami mengitari meja untuk mengambil tasnya. Ringtone tanda panggilan terdengar memenuhi ruangan, khas menandakan telfon masuk ke gawai Rami. Sementara aku memakai tas dan duduk bersandar dengan nyaman di sofa, ia mengangkat telfonnya.

"Halo, bang?...iya... ini udah beres, kok... hah? Cepet banget? ...yaudah... aku keluar, kok. Iya..."

Sambungan terputus, Rami bersiap pulang.

"di jemput abang lo, Mi?" Tanyaku sambil memperhatikannya.

Rami menangguk. "Dia tiba-tiba bilang udah di depan pager. Sorry ya, Na, nggak bisa ngajak bareng. Naik motor soalnya."

"Iya, santai."

Oke sebenarnya aku nggak santai. Ini hampir maghrib, dan sejak kembali dari membeli bawang denga Alvin hujan deras melanda. Angin kencang, langit gelap, petir, guntur, dan aku nggak tahu pulang naik apa. Paket lengkap. Mana aku nggak punya aplikasi ojek online...

"Pinjem hapenya Sultan aja, gih. Dia ada kok, kan gue suka minjem," saran Rami sambil nyengir.

Aku membuntutinya menuju pintu belakang rumah Sultan yang bisa dibilang lebih beroprasi daripada pintu utama di ruang tamu. Terhenti di ruang tengah tepatnya dekat meja makan saat melihat sosok Kinza dengan sok akrabnya bermain game dengan adik laki-laki Sultan. Keduanya sedang duduk bersama di sofa panjang sementara gawai ditangan.

"Abang Sultan gue balik, ya!" pamit Rami begitu sang tuan rumah muncul dari balik pintu salah satu kamar. "Ana, Kinza... kamu, adiknya Sultan... balik duluan, ya..."

aku masih setia berdiri di tempat ketika Rami hilang di balik pintu, juga Kinza dan adik Sultan yang sudah berseru-seru heboh bersama. Soal game, tentu saja.

"Na, lo balik naik apa?" suara Sultan membuyarkan lamunan.

Aku mengerjap. "Ojek online, paling," jawabku. "Tapi gue nggak ada aplikasinya. Boleh tolong pesenin..."

"Sama gue aja, Na."

Eh?

Baik aku dan Sultan sama-sama menoleh padanya. Siapa lagi kalau bukan Kinza. Ia memotong tanpa aba-aba, berhasil membuat kaget, tapi lihatlah. Lagaknya seperti baru saja tidak mengatakan apapun. Asyik dengan game.

"Ng... nggak usah, deh. Gue naik ojek aj..."

"Udah, bareng gue aja. Satu arah ini," kali ini Kinza memotong sambil mengangkat kepalanya dan menatapku dengan kernyitan di kening. Nadanya benar-binar tidak terbantahkan. Seperti sebuah suruhan mutlak yang membuatku hanya mengangguk-angguk bak hiasan di dasboard mobil.

"Tapi kehujanan maaf, ya." Lanjutnya. "Nggak ada jas hujan."

Aku masih mengangguk-angguk.

Beberapa saat setelahnya Kinza melompat bangkit, menyudahi sesi gamenya. Ia sempat bercanda dengan adik Sultan dan membicarakan hal-hal mengenai game sebelum memakai tasnya. "Tan, balik dulu, yo."

"Sultan, balik dulu. Makasih dan maaf sudah merecoki," aku berpamitan pada sang tuan rumah yang berdiri di ambang pintu, melepas kepulanganku dan Kinza. Ia dengan segala kebaikannya tersenyum, mengatakan tidak apa-apa.

Gerimis kecil masih mengguyur, diikuti kilat samar yang tampak dari kejauhan. Tanda-tandanya seperti enggan menyudahi ritual alam. Aku sedang menatap langit dan mengukur seberapa derasnya ketika sebuah tangan menyodorkan jaket padaku.

"Nih, pakai," ujar Kinza sambil menatapku. "Hujannya lumayan, jadi mending kamu paki jaketku, Na." Lanjutnya demi melihat bingungnya wajahku.

Aku meniti sosoknya. Kinza hanya mengenakan kaos hitam polos dan hendak memberikan jaketnya padaku? "Nggak usah, deh. Kamu aja. Nanti kedinginan," tolakku.

"Nanti kamunya juga kedinginan..."

"Tapi biasanya yang di depan itu lebih banyak kena angin dan hujan dibanding penumpang..."

"Sama aja, ah. Penumpang juga banyak kena angin dan hujan," Kinza kembali menyodorkan jaketnya padaku, kali ini sedikit memaksa.

"Nggak mau, Kinzaaaa..."

"Harus mau, Anaaaa..."

"Mending gue yang pakai jaket." Sultan yang tiba-tiba menyahut membuatku dan Kinza sama-sama menoleh. "Berantem mulu kapan pulangnya? Keburu hujan badai lagi."

"Tuh, makanya cepet pakai," aku menepuk bahu Kinza dengan kedua tangan.

Laki-laki itu dengan bibir sedikit manyun akhirnya kembali memakai jaketnya, juga helm hitam dengan garis coklat. Setelah itu naik ke motor dan menyalakan mesin, bersiap.

"Nanti kamu nunduk aja, ya. sembunyi di balik punggung biar nggak kena hujan dari depan. Aku aja yang kena." Kata Kinza ketika aku sudah duduk dengan nyaman di motornya, bersiap berangkat sementara Sultan berdiri di dekat pagar rumah.

Dan aku menurut, bersembunyi di balik punggungnya, tanpa sadar menempelkan kepala padanya sementara kedua tangan ini mencengkram pinggiran jaketnya erat-erat. Hujannya ternyata lebih deras dari yang aku kira, dan rasa dingin yang menusuk membuatku dan Kinza berkali-kali mengeluh.

Aku pernah mendengar. Katanya dua dari sekian banyak faktor yang membuat seseorang terbawa perasaan dan mulai menyukai lawan jenisnya adalah chatting, dan satu lagi naik motor bersama. Rasanya aneh saat tiba-tiba hal tersebut terlintas di otakku, apalagi saat aku sedang naik motor bersama Kinza yang setiap waktu menggodaku ini-itu dengan berbagai macam gombalannya.

Tunggu.

Masa aku beneran baper sama Kinza?[]

K I N Z A ●Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang