32 ○ snapgram

602 118 12
                                    

01/09/18 !!!!

생축 우리 황금 오빠 전정국이 휘바 휘바


Orang selalu bilang kalau memahami wanita itu susah. Wanita, mau di teliti sebanyak apapun, seintensif apapun, seperti makhluk baru yang sulit diidentifikasi. Tetapi bagiku, laki-laki juga tak kalah sulit untuk dipahami, dimengerti, dan ditentukan secara mutlak bagaiamana sifat, perilaku, dan hal lainnya.

Menebak isi pikiran Kinza atau berbagai skenario yang direncanakannya itu sulit. Mempercayai segala kata yang keluar dari mulutnya pun lama-lama begitu. Membedakan mana yang serius dan bercandaan membuat pusing tujuh keliling.

Aku nggak tahu dia privat ke mana sehingga bisa ngomong banyak hal dengan mulusnya. Mungkin bakat dari lahir?

Entah lah.

Satu yang pasti adalah aku masih bingung harus mengiyakan ajakan Kinza atau nggak.

"... jangan. Nggak usah ikut. Haram kalau lo jawab iya ..."

Itu Rami. Lagi-lagi Rami. Lama-lama dia mungkin jadi penasihat pribadiku.

"... daripada sakit hati ya, Na. Mending nggak usah jalan sama dia ..."

"Mending kita kerkom di rumah gue, selesaiin ngecutter polanya."

Tepat suara lain terdengar, aku dan Rami sama-sama menoleh. Sosok tinggi Alvin dengan seragam amburadulnya berdiri di depan kami. Cengiran lebar terpajang.

"Ciee... Ana di ajak jalan sama cowok ya? Kinzanya dikemanain Na?" Candanya sambil duduk di kursi milik Dita.

"Yeeh, justru si Ana di ajak jalan sama temen lo yang brengsek itu... apa alasannya Na? Minta temenin beli kado buat Adira..."

Aku bisa melihat kedua mata Alvin yang melotot, mulutnya yang terbuka, gebrakannya, serta respon yang menggelegar...

"Kok gobloook?!!"

... oh, jangan lupakan spontanitasnya berdiri dari duduk hingga lututnya terantuk meja dan ia berakhir mengaduh kesakitan.

Sedikit hiburan sih, haha. Makasih Le.

"Nggak tahu tuh temen lo. Gila apa ya..."

"Emang gila anjir ngajak jalannya nggak profesional banget. Segala bawa-bawa pihak lain," tanggap Alvin menggebu-gebu. "Eh bentar, bukan temen gue si Kinza mah udah gue pecat."

Rami mengacungkan jempol dan mengangguk setuju sementara aku tertawa.

"Anjir receh banget lo, Na."

"Biarin!"

"Iya terserah deh... tapi terus lo nerima ajakan dia?"

Bukannya membiarkan aku menjawab, Rami lebih dulu heboh melarang. "Nggak! Nggak nerima lah, gila. Sakit hati kali kalau beneran nemenin belanja kado mah. Namanya memberi kesempatan ke musuh itu namanya..."

Oke, memberi kesempatan ke musuh itu maksudnya apa ...? Musuh siapa?

"... walaupun gue mendukung Ana dan si brengsek bersatu, tapi karena dia brengsek jadi sekarang gue agak gimana gitu ..."

"Tapi gue kayak kasian," cicitku takut-takut.

Rasanya seperti kelinci yang di pojokkan dua harimau saat Alvin dan Rami berteriak tidak terima.

Kalau boleh jujur, ya... ada secuil keinginan untuk ikut dari hatiku. Tapi kalau mengikuti logika... ya 99% menolak.

"Udah ya, daripada ribet-ribet mending kita kerkom di rumah gue. Jalan bersama dan nggak bikin sakit hati."

K I N Z A ●Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang