31 ○

468 115 26
                                    

19/08/18
Sorry for typo

"...terus lo mau?"

Aku menggeleng, Rami menghembuskan napas lega. Namun kelegaannya hanya bertahan sementara.

"...pesannya belum gue bales..."

"Tapi udah lo read?!" Sahut teman sebangkuku itu cepat.

"Belum... cuman baca pop up notifikasinya aja..."

Selanjutnya hening.

Rami mungkin nggak bisa berkata apa-apa lagi mungkin ya... atau aku terlalu bingung untuk bicara.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, apa yang kulakukan itu konyol sebenarnya. Kinza mengontakku minggu siang, dan sampai seninnya, yaitu hari ini, aku belum membalas. Beruntungnya dia masih belum hadir di kelas saat aku dan Rami sampai. Juga kembarannya alias Alvin.

Aku mau jahat, berdoa dua-duanyaㅡatau Kinza saja nggak apa-apaㅡnggak masuk sekolah jadi aku nggak usah menghindar, canggung, atau salah tingkah.

Lagipula siapa suruh sih, ngechat aku nggak jelas kayak gitu kemarin? Kalau aku jantungan gimana?

"...tapi jujur ya Na. Abis lo cerita gitu, gue ngerasa kalau lo emang beneran suka sama Kinza..."

Aku melotot.

"...iya kan?"

Rami menatap penuh selidik yang membuatku salah tingkah dan berakhir menghela napas dan bergumam "terserah".

"Terserah berarti iya."

"Iya, terserah."

Yang menyebalkan adalah, senyum terlewat lebar yang terpampang di wajah Rami. Oh, jangan lupa tatapan penuh artinya.

"Gue ngerti, kok. Gimana nggak baper coba kalau di gombalin mulu? Mana yang ngegombalin ganteng lagi..."

Sebentar... "Hah?"

"Apa? Emang ganteng kan, dia? Waktu dulu gue tanya lima orang cowok paling ganteng di kelas, nama dia masuk list kan?"

Aku kembali bergumam "terserah". Rami tertawa.

"Ganteng tapi brengsek," katanya. "Yang ini gue nggak ngerti. Pas awal dia menel ke lo dan gombal nggak jelas gue pikir lucu. Abis tau dia masih ngarepin cewek lain sambil ngegodain lo..."

"Dia nggak ngarepin, tapi masih suka," ralatku yang... kok rasanya aneh, ya?

Kali ini Rami yang bergumam "terserah" sambil mengerling.

"Udah pokoknya fakta kalau dia brengsek itu mutlak," kata Rami. "Brengsek tapi temen gue," lanjutnya. "Gila ya, kenapa gue mau temenan sama orang brengsek? Kenapa lo suka sama orang brengsek..."

Tepat saat itu sebuah teriakan serta keramaian terdengar dari ambang pintu kelas. Kinza dan Alvin hadir menyapa orang-orang, berdebat satu sama lain, sementara kaki-kaki jenjang keduanya melangkah menuju meja di belakangku dan Rami.

"Mi, ini gue harus gimana?" Aku berbisik panik selagi Rami malah menunjuk Kinza sambil berseru...

"Kenapa lo brengsek?!"

Dan waktu seketika berhenti. Aku kaget, Alvin kaget, Kinza apalagi.

"Wah gila! Haha. Gila sih, pagi-pagi udah dikatain brengsek."

Itu Alvin. Dia yang pertama kali memecah keheningan dengan pura-pura kaget sambil menutup mulut.

"...tapi bener sih, si Kinza mah emang brengsek. Ana aja ..."

Sebelum aku tahu apa yang akan Alvin katakan, mulutnya sudah di bekap oleh tangan Rami.

"Apaan anjir. Pagi-pagi udah di tuduh brengsek, sakit hati gue mah," kali ini Kinza membuka mulut.

Tak di sengaja tatapannya bertemu dengan tatapanku. Aku benar-benar bingung harus bagaimana saat Kinza tahu-tahu menyengir dan bertanya pelan.

"Kakinya sehat, kan, Na? Siap nemenin gue?"








Hulla. Sorry pendek lagi hectic parah ㅠㅠ

Ana kira-kira mau nemenin Kinza atau nggak ayo di vote 😂

K I N Z A ●Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang