20 ○ Adira?

473 121 24
                                    

22/04/18
Sorry for typo
I'm not in the right mind when i wrote this chapter so...


"Dek, belum tidur?"

Atensiku teralihkan begitu saja pada sosok Mama yang berdiri di ambang pintu kamarku dengan setelan dasternya. Beliau sempat mengetuk pintu pelan sebelum bertanya memastikan. Aku menatapnya, menggeleng, tersenyum.

"Tumben."

Iya, tumben. Biasanya sehabis isya aku pasti sudah tepar di kasur sampai jam tiga pagi untuk menyelesaikan tugas-tugas sekalian shalat malam, kalau mau. Mama dan Papa bahkan sering menggodaku tentang kebiasaan baru di kelas sebelas ini. salahkan tugas-tugas tiada akhir saja, Ma, Pa.

"...nanti kalau mau tidur lampunya jangan lupa dimatiin, ya..."

Aku mengangguk. mama akhirnya beranjak pergi, entah melakukan apa—mungkin menyuci piring atau menyelesaikan tugas kantornya. Meninggalkanku bersama keruwetan pikiran yang tidak bisa dialihkan.

Tolong, deh, aku itu mau tidur. Biar tenang. Kenapa malah mikirin Kinza?

Nggak usah kaget. aku nggak bohong, kok. Gara-gara obrolan dengan Rami dan pikiran selintas saat naik motor bersama Kinza tadi aku jadi kepikiran terus.

Ana beneran baper sama Kinza, tah?

Aku? Masa? Kok bisa?

Pertama-tama aku berpikir ini pasti karena cie-cieannya anak sekelas, terutama Rami si pelopor satu itu. Yang kayak gitu kebanyakan bikin baper, kan? karena terbiasa di begitukan lama-lama jadi terpengaruh...

Lalu sifat Kinza. Memperhatikan tingkah lakunya selama hampir setengah semester ini aku menangkap kalau karakternya memang seperti itu. Tapi kayaknya dia juga sering, deh, ganggu anak cewek yang lain. Ngegombal ke sana-sini. Aku pernah dengar dia manggil Ayu "cantik..." atau Thia "sayang" jadi ya... begitu.

Telentang di kasur selama seperempat jam sambil menatap langit-langit kamar aku menyimpulkan satu hal.

Aku nggak baper sama Kinza—atau aku yang meyakinkan diri sendiri seperti itu.

Nggak tahu, deh, bingung.

Jujur, ya, terakhir kali banget aku suka sama anak laki-laki itu kelas enam SD. Cinta monyet, tentu saja. Lalu setelah itu aku jadi Ana yang mentingin bercanda dan happy sama teman daripada merhatiin anak laki-laki sehingga bagaimanapun aku jadi Ana yang sekarang. Yang clueless saat di tanya cowok ganteng menurutku yang mana, yang bingung saat di tanya cowok idaman kayak gimana, apalagi saat di tanya aku suka sama seseorang atau nggak; baper atau nggak.

Iya, Ana sebodoh itu.

Makanya sekarang aku meyakinkan diri kalau aku benar-benar nggak baper atau suka sama Kinza, karena bagaimanapun aku nggak pernah membayangkan hal itu terjadi. Aku hanya pernah membayangkan berteman dengannya karena sepertinya ia asik dan memang benar. Tapi nggak lebih dari itu.

Kayaknya aku harus ngomong ke Rami deh, soal ini. Mencegah aksi menjodoh-jodohkan yang memicu kejahilan Kinza sehingga semuanya jadi runyam. Termasuk perasaan dan kebingunganku.

Malamnya, sebelum benar-benar terlelap aku bertekad. Tapi besok paginya aku lupa! Serius. Aku saja sampai bingung kenapa mendadak merasa bodoh begini.

Semuanya tiba-tiba mengalir dan membuatku ingat saat akhir jam pelajaran bahasa Indonesia, dimana kelas di tata sesuai kemauan Bu Linta menjadi seperti restoran dengan menu berbeda dari setiap meja—setiap kelompok. Alih-alih pelajaran bahasa itu sebenarnya lebih mirip acara master chef. Tiga juri berkeliling menyicipi setiap masakan, menilai, kemudian memperbolehkan anak-anak untuk menyicip. Maka rusuhlah kelas.

Spaghetti buatanku tadi pagi langsung ludes oleh Alvin dan Kinza serta anak-anak lain, jadi aku kabur ke kelompok Rami untuk menyicipi gado-gadonya. Si pemilik meja entah kemana. Tak lama Kinza bergabung denganku. Dengan gerakan cepat menyelamatkan sisa-sisa makanan yang ada ke dalam sebuah piring untuk kemudian disantap bersama. Berbagi, pokoknya.

"Na, lontongnya mau ngambil lagi, nggak?" Tanya Kinza sambil memasukkan sesendok sayuran berbumbu kacang ke dalam mulutnya.

Aku yang sedang mengunyah spontan meraih sisa lontong yang tergeletak begitu saja di atas meja. Sejurus kemudian sudah memotong-motongnya menjadi bagian kecil di atas piringku dan Kinza.

"Ini, tambah bumbu kacangnya lagi," kataku.

Giliran Kinza yang menyendokkan sisa bumbu kacang dalam tempat makan sedang dan mengaduk isi piring hingga tercampur rata. Barulah kami melanjutkan makan.

"... dunia serasa milik berdua, euy."

Alvin dengan piring penuh makanan datang dan duduk di samping Kinza.

"Gila. Anak kelas sebelah pada nyasar ke sini, dong." Rami ikutan muncul dengan semangkuk bakso di tangan. "Untung lapak gue kosong. Udah ludes duluan."

"Gado-gadonya enak, Mi," ujar Kinza tiba-tiba.

"Yaiya, siapa dulu yang bikin?"

"Tali Rami di pasar..." sahutan Alvin berhasil mendapatkan timpukan gulungan tissue dari Rami.

Kami terbahak sebentar sebelum menyantap kembali makanan masing-masing. Lengang. Aku meletakkan sendok, berpikir sejenak demi mengingat-ngingat hal terlupakan sejak bangun tidur tadi pagi. Tidak perduli Kinza sudah hampir menghabiskan gado-gado di piring.

"...Na, ini habis, nih. Terakhir. Aaa..."

Benar-benar refleks, aku membuka mulut saat laki-laki di sampingku menyodorkan sendok dengan gado-gado terakhir. Di suapi Kinza. Sebenarnya aku bisa bersikap normal kalau saja anak laki-laki dari kelas lain tidak tiba-tiba muncul dan membuat kehebohan.

"Wah gila, Kinza. Udah suap-suapan aja sama cewek!"

Aku malu!

"Dih, ngapain lo di kelas gue, Yu?" itu Alvin yang bertanya, dengan nada agak tidak suka.

"Makan, lah! Gratisan gini, hehe," laki-laki yang dipanggil 'Yu' itu terkekeh. "Tujuannya sih, itu. Eh gue nyiduk Kinza sama cewek baru. Adiranya dikemanain, masbro? Udah move on?"

Sementara tawa Alvin meledak dengan hebohnya, aku bisa mendengar Kinza mengumpat.

"Abiyu bangsat."

Sebelum aku bisa mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi, Rami tiba-tiba bertanya. "Adira siapa?"

"Gebetannya Kinza."[]












What do you think?

K I N Z A ●Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang