👉 Chapter 10

1.2K 139 21
                                    


Previous

Sehun terkejut begitu membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, dia melihat Tuan Oh yang sedang duduk di atas ranjangnya dengan kepala yang tertunduk. "Apa yang Appa lakukan di kamarku?"

Tuan Oh mendongak, dan menatap Sehun sendu. "Kenapa kau tidak pernah cerita ke Appa, Sehun-ah?"

"M-maksud Appa?" Sehun tak mengerti dengan maksud pertanyaan ayahnya itu.

"Kenapa kau tidak pernah cerita ke Appa kalau kau sakit, Sehun-ah?"

"Ne?"

Sehun terkejut bukan main. Bagaimana ayahnya bisa tahu tentang rahasia yang hanya diketahui oleh Tuhan, dia, dan Kai saja? Gadis itu diam di tempat. Dadanya sudah bergemuruh, karena was-was. "T-tidak. A-aku baik-baik saja," elak Sehun.

Tuan Oh lalu bangkit dari duduknya. Ia kemudian mengambil sebuah botol obat di atas kasur yang tadi ia letakkan di belakangnya. "Jangan berbohong, Sehun-ah. Appa tidak suka kau berbohong." Ia menghampiri putrinya tersebut dengan mata yang berkaca-kaca.

"A-appa ... i-itu vitaminku. K-kenapa Appa mengambilnya?" ucap Sehun gagap. Dia ceroboh, sangat-sangat ceroboh. Bagaimana bisa dia hanya menaruh benda yang menurutnya laknat itu hanya di dalam laci meja belajarnya?

"Jangan bohong, Sehun-ah ... Appa sudah tahu semuanya."

"Ya?"

Tuan Oh langsung memeluk Sehun saat ia sudah berada di dekat putrinya itu. "Wae?! Kenapa kau tidak pernah bilang hal ini ke Appa, Sehun-ah?! Wae?!" teriaknya sambil terisak.

Sehun pun menangis. Bukan karena melihat ayahnya yang menangis. Tetapi, karena melihat kecerobohannya sendiri.

"Appa menyayangimu, Sehun-ah ... tak seharusnya kau seperti ini. Appa tidak mau kehilangan orang yang Appa sayangi untuk yang kedua kalinya."

Sehun tak mampu berkata-kata lagi. Percuma saja dia mengelak. Semuanya sudah jelas sekarang. Ayahnya tahu. Dan, selamat datang rumah sakit tak lama lagi.

"Appa ...."

Tuan Oh melepaskan pelukannya. "Kau jangan pernah berpikir bahwa Appa tak menyayangimu, Sehun-ah. Appa sangat menyayangimu."

"Appa ...."

***bad***

Sehun menatap pantulan dirinya di cermin sendu. Kini, hidupnya telah berubah 180°. Tidak ada lagi senyum di wajahnya. Yang ada hanyalah ekspresi datar. Sebuah ekspresi yang menggambarkan bahwa gadis itu adalah sosok yang dingin.

Berat badannya juga tampak menurun. Bahkan, baju berukuran M pun tampak kedodoran di badannya. Sekurus itukah dia?

Sehun kemudian berjalan menuju nakas. Diambilnya ponsel yang tergeletak di atas sana. Satu-satunya orang yang bisa mendengarkan keluh kesahnya saat ini adalah Kai, sahabat baiknya. Gadis itu menghubungi pemuda itu.

"Ya, Sehun-ah ... ada apa?"

"Kai-ya ...," ucap Sehun lirih

"Wae? Ada apa, hah?" tanya Kai dari seberang telepon.

"Bisa kita bertemu sekarang?" pinta Sehun. Ini sudah jam sebelas malam, namun bagi gadis itu, jam segitu masih sangatlah sore.

"Oh, tentu. Bertemu di mana? Apa aku harus menjemputmu?"

"Tidak perlu. Kita bisa bertemu di Sungai Han."

"Apa? Sungai Han? Ah, baiklah. Aku akan ke sana sekarang."

BAD (ChanHun Ver.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang