SEBELAS

1.6K 74 14
                                    


Nessa tersadar dari pingsannya. Ia mengerjapkan mata melihat suasana di sekeliling kamar. Suasana yang sebelumnya ramai dengan canda dan tawa kini berubah sunyi.

"Bun ...." panggil Nessa lemah.

Bunda menoleh. "Alhamdulillah, adek sudah bangun," ucap Bunda.

Nenek yang juga berada di sisi Nessa mencium kening cucu kesayangannya itu. "Nenek ambil makanan, ya. Kamu belum makan dari pagi," kata nenek.

Nessa menggeleng.

"Ada soto ayam kesukaan kamu." Bujuk Nenek yang langsung berlalu ke dapur.

"Di mana ayah, Bun?"

"Ayah masih di gedung. Kasihan para tamu yang akan datang."  Bunda membelai rambut Nessa.

Nessa kembali menangis.

Bunda menenangkan membelai lembut punggung Nessa. "Nessa, ya, Sayang."

Sungguh kata-kata ini hanya kiasan. Karena bunda pun terluka. Ingin rasanya marah pada lelaki yang telah melukai hati anaknya, mempermalukan putri ny di hari bahagianya.

"Bun ... Maafin adek, ya, Bun. Adek bikin bunda repot, bikin malu ... a a adek---" Nessa terisak tak kuasa melanjutkan kata-kata.

Nessa merasakan sakit yang luar biasa seperti tubuh teriris sembilu. Luka parah yang tak terlihat.

Bunda memeluk tubuh ringkih Nessa menyalurkan kasih sayang lewat sentuhan. Membiarkan Nessa menangis, melepas beban lewat air mata.

Keluarga sepakat untuk tak menekan Nessa. Tak menyalahkan atas apa yang terjadi. Yang Nessa butuhkan saat ini adalah dukungan.

"Nggak Dek, adek nggak salah. Justru bunda merasa senang, sebelum adek nikah. Kita sudah tahu aib Randi. Jadi, adek nggak masuk pusaran masalah yang lebih besar lagi," ucap bunda, bijak.

Nessa membenamkan wajah ke bantal. Masih terisak. "Istighfar, Sayang. Allah ma ana."

Ayah pulang menjelang sore. Pria yang masih gagah di usia dewasanya itu menyandarkan tubuh di sofa. Melepaskan penat pada secangkir teh hangat yang bunda berikan.

Nessa yang mengetahui kedatangan ayah segera berlari keluar kamar. Gadis yang menanggung rasa sakit luar biasa itu bersimpuh di hadapan Ayah. "Ayah, maafkan Nessa. Seharusnya Nessa mendengar apa yang ayah katakan. Se... se..." Nessa terisak. Air mata turun deras melewati pipi. Ia tak sanggup mengangkat kepala di depan ayah.

Ayah kaget dengan tindakan Nessa. Memandang gadisnya dengan penuh gejolak di dada. Rasa marah membuncah karena telah membuat putri kecilnya tersakiti begitu dalam. Tetapi juga rasa lega karena semuanya terungkap pada permulaan. Belum terlambat pikir ayah.

"Seharusnya adek dengerin kata Ayah. Se ... se ... seharusnya adek nggak terlalu percaya sama dia. Maafin adek, Yahh ... Adek bikin malu ayah." Nessa tersedu memeluk kaki ayah.

Keluarga sedih melihat Nessa yang begitu terpukul dengan kejadian ini.

Nessa masih melingkar di kaki ayah. "Bangun Dek, adek nggak salah. Nggak ada yang perlu dimaafkan. Ayah nggak marah sama adek."

Nessa belum beranjak bangun, masih memeluk erat kaki Ayah.

"Tuh, Adek jurus andalannya. Belum mau bangun kalau belum puas jawabannya," Alfan menggoda, "udah Dek nggak usah sedih. Aa udah hajar tadi orangnya. Ayah nggak marah. Nih Aa punya cokelat. Mau nggak?" Hati Alfan pun sangat panas sebenarnya. Tapi ia tak ingin membuat adik satu-satunya semakin terperosok dalam. Ia ingin membuat hal ini jadi masalah kecil.

"Ayahhhhhhh." Bukan semakin mereda, tangis Nessa justru semakin kencang.

Ayah mengangkat bahu putrinya, mendudukkan nya di samping. Nessa memeluk ayah sambil terus meminta maaf.

"Sudah sayang, nggak baik terus menangis. Apa ya kata anak muda jaman now," Ayah berpikir, " oh, iya, move on!" kata Ayah tertawa diikuti oleh yang keluarga lainnya.

Nessa yang masih berada dalam dekapan, mau tak mau terkekeh pelan mendengar candaan garing ayah.

Ayah bernapas lega mendengar tawa pelan putrinya. Lelaki berkumis itu terus membelai punggung Nessa, mentransfer kasih sayangnya.

Dalam hati Nessa bersyukur karena diberi keluarga yang peduli kepadanya. Walaupun gadis itu masih membutuhkan waktu untuk membangun kepercayaan diri.

***

Malam menjelang, suasana rumah yang sudah sunyi. Terusik oleh kedatangan tamu yang tak di undang. Orangtua Randi datang. Keluarga Nessa menerima kedatangan mereka. Walaupun tidak hangat seperti  sebelumnya.

Gadis itu tidak menampakkan diri yang membuat Mami Randi masuk menemuinya di kamar.

"Assalamualaikum. Nessa," salam Mami.

Nessa yang tak menyadari kedatangan ibunda Randi menoleh, "Mami ...."

Kedua wanita yang berbeda generasi itu saling memeluk dan menangis. Dalam pelukannya ada kata yang tak mampu untuk diutarakan.

Semua orang yang melihat ikut larut dalam kesedihan. Mereka semua tahu bagaimana kedekatan Nessa dengan calon mertuanya. Keluarga Randi sudah menganggap Nessa bagian dari keluarga inti.

"Maafkan, Mami, ya.  Karena tidak mampu mengajarkan anak," isak penyesalan mama Randi.

Nessa menggeleng tidak menyetujui pernyataan Mama. Baginya Mama sudah menjadi ibu yang hebat. Kejadian ini sepenuhnya salah Randi. "Tidak Ma, bukan salah Mama."

Mama membelai punggung Nessa yang berada dalam pelukannya. Hati kecil wanita paruh baya itu senang karena Nessa masih bersikap seperti sebelumnya. Perlakuan Randi tidak membuat gadis itu membenci dirinya.

Mama merasa masih punya harapan. Harapan untuk dapat mendapat maaf Nessa untuk Randi, harapan untuk memulai ini dari awal.

"Nessa, Ada hal yang ingi Mama bicarakan," ucap Mama lembut.

"Katakanlah Ma."

Mama menarik napas dahulu. Selama perjalanan dari rumah, ia sudah menyiapkan kata-kata yang pas untuk diucapka. Berharap Nessa tidak salah paham.

"Nessa, maukah untuk...."

∆∆∆

Publish 22 April 2018
Revisi 23 Oktober 2019















Denessa (END) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang