DUA BELAS

1.4K 74 4
                                    

"Nessa Sayang, maukan memaafkan Randi dan menerimanya kembali?" Mami memohon.

Mami tahu yang dilakukan Randi adalah fatal. Namun, permohonan Randi dan keinginan pribadi agar anak kebanggaannya bersanding dengan perempuan baik-baik membuat Mami mengabaikan rasa malu.

"Maksud, Mami?" tanya Nessa tidak mengerti.

"Lanjutkan pernikahan Randi dengan Nessa," ucap mama.

"Lalu Karin?" Suara gadis itu meninggi.

"Kami akan bertanggung jawab pada kehamilannya sampai dia melahirkan. Bayinya pun a---"

"Mami tega melakukan itu? Sebagai seorang perempuan apa mami mau diperlakukan seperti itu?" Untuk kali ini ia kehilangan rasa hormat pada calon mami mertuanya. Mantan calon mertua tepatnya.

"Bukan begitu, Nessa. Mami hanya ingin Nessa dan Randi bahagia."

"Kebahagiaan mana yang mami maksud? Nessa tidak akan pernah bahagia di atas penderitaan wanita lain." Nessa mendengkus. "Karin akan selalu membayangi sisa kehidupan kami."

Bunda mendekati putrinya yang tersulut emosi. Mengusap punggung, mengatakan lewat tatapan mata untuk mengendalikan diri.

Nessa menghela napas. "Mi, maafin Nessa. Nessa nggak bisa balikan lagi sama anak Mami." Menyebut nama Randi pun ia tidak sudi.

Ibunda Randi tersenyum getir menahan rasa kecewa. Ia tidak lagi bisa memaksa. Kekacauan ini Randi penyebabnya. Sekarang bukan hanya Randi, seluruh keluarga terkena dampaknya.

"Nessa benar. Maafkan Mami." Mami memeluk Nessa dengan erat tidak kuasa menahan tangis. Mami menyayangi Nessa seperti putrinya sendiri.

Keluarga Randi berpamitan pulang. Mulai hari itu semua tidak lagi sama seperti dulu.

Hubungan baik akan bertahan baik. Namun, kasat mata menjelaskan jarak akan semakin melebar pasti.

*****

Randi berdiri dengan gelisah. Ia menunggu kedatangan keluarga. Berharap kekasihnya sudah memaafkan dan memberi satu kesempatan. Sungguh, ia benar-benar menyesali tindakan bodohnya.

Ia harus kehilangan calon istri yang shaleha hanya karena nafsu sesaat.

Suara mobil terdengar di luar rumah. Randi segera keluar. Papi yang pertama kali keluar membanting pintu mobil berlalu masuk tidak menghiraukan Randi yang berlari ke arahnya.

Randi menghampiri Mami. "Mi, bagaimana? Nessa memaafkan Randi, kan? Pernikahan kami tidak batal, kan?"

Mami mendelik pada Randi. Rasa malu, marah, kecewa tapi juga iba. Biar bagaimanapun Randi adalah putra satu-satunya. Mami hanya menggeleng menjawab pertanyaan Randi yang bertubi-tubi.

"Mami pasti bohong. Nessa pasti mau balikan sama Randi. Nessa maafin Randi kan, Mi?" Randi menguncang-guncang tubuh Mami.

Mami diam. Ia menghapus sudut mata melihat Randi yang terguncang pada kenyataan bahwa Nessa tidak lagi bisa menjadi miliknya.

"Mi ... Jawab Mi. Mami bercanda kan?" Suara Randi semakin parau.

Gendis, adik Randi bersuara melihat Kakaknya yang terus mendesak Mami. "Kak, sadar. Kakak itu bukan cuma nyakitin Kak Nessa tapi juga bikin malu keluarganya." Napas Gendis tidak teratur. "Terus Kakak pikir Kak Nessa mau maafin gitu aja! Dia terluka, Kak. Kalau Gendis yang digituin bagaimana? Apa Kakak mau maafin? Hah?"

Sebelum masuk, Gendis kembali berkata. "Bukan cuma Kakak yang kehilangan calon istri tapi juga Gendis yang kehilangan kakak perempuan. Gendis kecewa sama Kakak!" teriak Gendis.

Randi jatuh dengan lutut mendarat di lantai. Ia menarik rambutnya. "Argghhhhhhh."

Randi putus asa. Ia benar-benar terpuruk. Kalau saja bisa memutar waktu. Ia tidak pernah melakukan kebodohan itu.

****

Hari-hari Nessa diliputi kesedihan. Keadaan berbalik 360°. Sebelumnya ia merasa jadi wanita paling berbahagia tapi sekarang ia merasa menjadi wanita paling merana di dunia.

Seharusnya hari ini ia sudah menikmati status baru sebagai seorang istri. Namun, takdir berkata lain. Di sinilah ia sekarang menangis terisak. Rasa malu ini bukan hanya ia tanggung sendiri tapi juga keluarga besarnya. Hal ini menambah rasa sakit.

"Dek, makan dulu yuk," ajak Bunda. Ini sudah kesekian kalinya Bunda menyuruh Nessa untuk makan. Gadis itu bahkan tidak menyentuh makanannya sama sekali.

Nessa diam tidak merespon.

Bunda menghela napas. Sebagai orangtua hatinya juga sakit. Pemuda yang selama ini dipercaya telah menusuk belati. Bunda ingin putri kecilnya kembali seperti dulu. Ceria.

"Adek lupa ya? Hari ini Minda ulang tahun."

Nessa mengerjapkan mata  mengingat tanggal. Bunda benar hari ini ulang tahun sahabatnya itu.

"Sebaiknya adek telepon Minda. Tahu sendiri kalau dia nggak diucapin bisa teriak-teriak di depan rumah," ucap Bunda terkekeh.

Nessa tersenyum. Tidak salah yang dikatakan Bunda. Sahabat baiknya itu memang sedikit 'lebay' saat berulang tahun.

Bunda meletakan piring berisi makanan baru di nakas lalu mengambil makanan yang tadi pagi sama sekali tidak disentuh Nessa. Bunda lalu keluar.

Nessa mengambil ponsel di laci nakas. Menyalahkan tombol power. Batre melemah. Ia lalu memasangkan charger ke ponsel. Sembari menunggu ia membersihkan diri. Menyegarkan tubuh dan pikiran.

Nessa memaksakan diri untuk makan. Ia tidak boleh larut dalam kesedihan. Sesuap demi sesuap ia telan. Butuh waktu satu jam untuk menghabisakan satu piring nasi dan lauk yang disediakan.

Nessa melihat ponsel menyalakan tombol power. Denting suara gawai berbunyi berunutan. Begitu banyak pesan masuk dan panggilan tidak terjawab. Nessa menghela napas. Ia bahkan tidak ingin membukanya. Nessa menggeser layar ke atas. Satu pesan dari nomor tidak kenal cukup banyak. Nessa penasaran lalu.  membukanya.

Gadis itu terperanjat. Pesan itu dari Karin. Wanita selingkuhan Randi.



Denessa (END) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang