5. Awal dari Bahagia

11.6K 1.2K 273
                                    


Awal dari Bahagia

Kantin siang itu cukup ramai. Meja-meja penuh oleh murid yang kelaparan. Lalu rasa lapar itu diwujudkan dengan suara denting sendok dan kepala tertunduk. Fokus ke makanan. Tidak ada obrolan yang menyelingi.

Kebetulan hujan juga turun baru saja.

Adit yang sudah duduk duluan di bangku pojok, mengangkat tangannya. Memanggil Regan dan kedua sahabatnya.

“Siapa, Dit?” Kiki bertanya ketika sudah sampai di meja pojok dan melihat Adit tidak sendirian.

“Yang gue ceritain kemarin. Riana.”

Ari langsung heboh. “Oh, ini yang Riana-Riana itu?”

Yang disebut namanya tersenyum, menyapa.

“Aduh, man, gue nggak kuat sama senyumnya.”  Kiki memeluk Ari.

Regan masih diam ketika kedua sahabatnya berebut berjabat tangan dengan Riana. Bahkan harus dipukul Adit agar mereka melepaskan tangan mereka.

Gadis ini kalau Regan tidak salah ingat adalah gadis yang berpapasan dengannya di tangga, dengan bertumpuk buku di tangan. Jadi gadis ini yang membuat Adit gila sebulan ini?

Regan duduk di kursi yang kebetulan berhadapan dengan Riana. Adit duduk di sampingnya. Sementara Ari dan Kiki duduk di dekat Regan.

“Eh, eh, nama kalian sama!” Kiki tiba-tiba berseru. Adit menatap bingung, siapa pula yang dimaksud Kiki?

“Riana Putri. Regan Putra.”

“Beda jauh!” Adit menyahut.

Regan juga menepuk bahu Kiki. “Ngaco lo. Sana pesan. Gue bakso kayak biasa.”

“Giliran lo yang pesan, Re. Kemarin kan gue.”

“Gue di pojok ini. Nggak bisa keluar.” Regan beralasan. Dia memang duduk menempel tembok dan sudah pewe.

“Yaudah panggil Bu Mar ke sini aja.” Kiki sudah menoleh, membuka mulutnya, ketika tangan Regan bergerak mendekapnya sebelum terlanjur memanggil Bu Mar.

Regan lalu melepasnya. “Awas minggir!”

Ari dan Kiki berdiri, memberi jalan untuk Regan.

Riana menatap punggung Regan yang melangkah ke gerobak Bu Mar.

“Lo juga sih, Ki.” Adit menyalahkan.

“Kok gue yang salah?”

“Bu Mar itu udah dianggap emak sendiri sama dia. Salah besar kalau lo nyuruh Bu Mar jalan ke sini, nyatet pesanan lo.” Ari yang menjawab.

Kiki membela diri. “Semua ibu-ibu paruh baya juga dianggap emak sama dia.”

“Nggak juga, ah. Bapak-bapak juga. Hormat banget deh tuh anak. Heran gue, masih bisa nonjok orang dia.” Adit menimpali.

“Nonjok orang?” Riana yang mendengarkan sejak tadi, akhirnya bertanya.

“Nggak nyangka kan, Ri?” Kiki menyambar. “Sama. Gue kenal dia pas kelas sepuluh, juga anggap dia anak culun. Soalnya pendiam banget. Bah. Ternyata diamnya itu menyeramkan.” Kiki mengangkat kedua tangannya, menirukan ekspresi harimau.

Semua kompak diam ketika Regan datang dengan tiga mangkok bakso yang masih mengepulkan asap dan tiga es teh.

“Tapi gue pengen es jeruk, Re.” Kiki merajuk manja. Suaranya dibuat-buat.

“Bodo amat!” Regan duduk. Mulai menyantap baksonya.

Baru beberapa sendok menyuap bakso ke mulutnya, suara mangkok pecah menyela. Riana yang sejak tadi memperhatikan Regan juga terlonjak kaget, bukan karena suara pecahan itu. Tapi karena lelaki itu mengangkat wajahnya, bersitatap dengannya sebentar sebelum menoleh ke sumber suara.

R E T A K [1] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang