24. Pertemuan Mama dan Adriana

8.7K 1K 144
                                    


Pertemuan Mama dan Adriana

Koridor rumah sakit pagi itu ramai. Ody harus berjalan hati-hati kalau tidak mau menyenggol lalu-lalang orang atau pasien di atas kursi roda. Beberapa kali Ody juga harus merapatkan diri ke dinding ketika ada ranjang pasien didorong melewatinya.

Riana tadi sudah mengirim nama ruangan berikut dengan letaknya. Tertulis di pesan kalau Ody cukup berjalan ke sayap kanan gedung, lurus mengikuti jalan.

Satu menit hampir tersasar, Ody akhirnya melihat Riana yang melambai ke arahnya.

Ody menyusul duduk di kursi, di samping Riana. "Udah dari tadi?"

Riana mengangguk. "Kak Ody nggak sibuk, 'kan?"

Ujian sekolah selesai. Murid kelas duabelas hanya tinggal menunggu pengumuman.

Ody tidak menjawab karena perhatiannya tersita ke ruangan di depannya. Ruangan khusus untuk terapi itu berdindingkan kaca tebal. Ody bisa melihat dengan jelas bagaimana Regan begitu sabar membantu papanya melakukan terapi. Tante Fatma duduk di salah kursi yang berada di sana. Meski hanya duduk, dia tetap menyemangati suaminya.

Riana mengerti ke mana tatapan Ody tertuju. "Papa lebih suka ditemani terapi sama Mas Regan daripada aku."

"Kenapa?" Ody bertanya tanpa menoleh. Matanya tak lepas dari pemandangan di depannya.

"Aku cerewet, Mas Regan nggak."

Ody menarik sudut bibirnya. Riana tidak salah lihat, 'kan?

   Senyum itu tertangkap oleh Riana.

"Kakakmu kelihatan sabar."

"Iya, sabar banget."

Kebahagiaan ini yang Regan cari. Ody bisa melihat bagaimana wajah Regan yang teduh menenangkan. Bagaimana beberapa kali Om Ardi sempat terjatuh dari pegangan, lalu Regan akan sigap menangkap kedua lengannya.

Beberapa kali juga mereka sempat tertawa. Mungkin saja Regan melempar lelucon agar papanya rileks. Ody memang tidak bisa mendengar, tapi dia melihat. Kebahagiaan milik Regan terasa sempurna. Hingga dia berharap tidak ada yang merusaknya lagi.

Karena Ody tidak ingin melihat sisi sendu seorang Regan. Dia tidak ingin melihat Regan yang menangis karena keegoisan mamanya. Seperti baru kemarin, dia mendapati mendung menggantung di wajah lelaki itu.

Mendung itu kini telah berganti awan.

"Perkembangan Papa sangat pesat, Kak." Suara Riana membuatnya sadar. Dia melepas pandangan di depannya, lantas menoleh.

"Kata dokter, kalau hari ini semakin membaik, bulan depan Papa bisa jalan lagi."

Ody ikut senang mendengarnya.

Sepuluh menit kemudian, Regan mendorong kursi roda Om Ardi keluar dari ruangan itu. Yang diikuti oleh Tante Fatma di belakangnya.

"Pagi, Om." Ody menyapa riang, lalu menyalami Om Ardi dan Tante Fatma.

"Ngapain, Dy?"

Senyum di wajah Ody langsung lenyap. Tanpa perlu buang tenaga, Riana sudah berbaik hati mencubit lengan Regan-sebagai balasan atas kalimatnya barusan.

Regan sering jadi korban gigit dan cubit Riana akhir-akhir ini.

Kursi roda Om Ardi sudah diambil-alih Riana. Tante Fatma melangkah di sampingnya. Menyisakan Regan yang berjalan di belakang bersama Ody.

"Ngapain ke sini?" Regan merasa tidak menghubungi Ody, apalagi menyuruhnya datang ke rumah sakit.

"Riana semalam ngabarin kalau pagi ini Om Ardi ada jadwal terapi. Ya udah gue datang, di rumah juga nggak ngapa-ngapain. Gue datang sendiri dan nggak akan minta antar pulang. Jadi lo tenang aja."

R E T A K [1] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang