26. Badai (Belum) Berlalu

8.9K 1K 163
                                    


Badai (Belum) Berlalu

Minggu pagi, Regan membeli bubur ayam di depan kompleks, didampingi oleh Riana.

Riana bisa diandalkan dalam menyingkirkan segala bentuk fans yang dimiliki oleh kakaknya.

Sepanjang jalan menuju gerbang kompleks, Riana terus menempel ke Regan—menggamit satu lengan kakaknya dengan kedua tangannya.

Regan senang-senang saja. Dia tidak keberatan.

Sesekali adiknya itu akan berteriak galak ketika satu-dua orang remaja melirik ke arah Regan. "Apa lo lihat-lihat? Nggak pernah lihat cowok cakep?"

"Yee, kakak lo aja nggak keberatan."

"Gue colok mata lo, ya. Sini! Sini nggak lo?!"

Remaja itu lari sebelum Riana lepas dari cekalan Regan.

   "Maaf deh, Mas. Aku bawaannya pengin marah kalau ada yang lirik-lirik Mas Regan," akunya dengan polos.

Regan mengacak rambut adiknya dengan sayang.

"Yang boleh lirik-lirik Kak Ody aja," tambahnya.

Regan menarik tangannya dari kepala Riana dengan sebal.

Mereka duduk di atas pagar semen, yang tingginya sepinggang Regan. Sebelum dirinya sendiri duduk, dia mengangkat kedua sisi pinggang Riana, dengan hati-hati mendudukkan Riana di atas pagar. Disusul dirinya yang duduk di sebelah Riana tanpa kesulitan yang berarti.

Tidak ada tempat duduk yang tersisa, daripada duduk di jalan atau rumput, lebih baik mereka duduk di sana sambil menatap danau buatan yang tidak terlalu luas.

"Dri."

"Kenapa, Mas?" Angin bertiup pelan mengusik poni Riana ketika dia menoleh.

"Kamu baik-baik aja?"

"See. Seperti yang Mas lihat, aku baik. Sangat baik."

Kalimat meyakinkan dari Riana, justru membuatnya ragu. Bukankah orang yang sangat baik bahkan tidak bisa bilang seperti itu?

Sama seperti orang kaya yang tidak pernah menyebut dirinya kaya.

Yang dilakukan Riana adalah seakan menyakinkan Regan kalau dirinya baik-baik saja—alih-alih memendam sesuatu.

"Cerita aja. Kalau itu rahasia, aku nggak akan bilang ke Papa atau Tante Fatma."

"Ya apa yang mau diceritain?" Riana menatap ke depan, melepas tatapan kakaknya.

Regan tidak ingin bertele-tele. "Ini soal Mama, Dri."

"Mama kenapa?" Riana menyahut biasa. Seolah yang dimaksud Regan adalah Mama yang membesarkannya. Dan bukan Mama yang melahirkannya.

Riana terdiam kemudian. Dia baru sadar Mama yang dimaksud kakaknya di sini.

"Aku belum berani bertemu Mama, Dri."

Riana semakin pias.

"Aku masih marah sama Mama, jujur. Kalau kami bertemu, aku cuma akan menyakiti Mama lagi."

"Bukankah Mama yang akan menyakitimu, Mas?" Riana menggumam tanpa sadar. Matanya jauh menatap di atas danau.

"Gimana, Dri? Kamu bilang apa? Aku nggak dengar."

"Aku nggak bilang apa-apa, Mas. Barusan aku nyanyi Korea, kok." Riana mencari alibi yang sangat tidak masuk di akal.

Regan sudah hafal logat Korea, sedikit-sedikit. Jadi percuma juga alasan Riana barusan.

R E T A K [1] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang