9. Karena Aku Peduli!

9.4K 1.2K 211
                                    

Karena Aku Peduli!

“Lo merasa kehilangan ini?” katanya sedikit keras.

Regan menoleh, belum berbalik. Hanya begitu reaksinya? Dia tidak tahu bagaimana Ody hampir terlambat hanya karena menunggu dirinya di halte tadi pagi?

Belum cukup, ketika jam istirahat, Ody harus mengelilingi satu sekolah untuk menemukan keberadaan lelaki itu.

“Kalau nggak merasa ya udah! Gue buang fotonya!” ancamnya.

Barulah lelaki itu berbalik. Ody mendekat dengan selembar foto di tangan kanan. Regan meraba saku celananya, lalu merogohnya untuk memastikan. Tidak ada.

Ody sedang tidak berselera untuk bercanda. Jadi dia mengangsurkan foto itu pada Regan. Lagipula foto itu tidak bisa dijadikan lelucon. Dia tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Foto usang itu bisa jadi adalah separuh hidup Regan.

“Lo nemu di mana?”

“Kemarin pas berantem sama Maura di ruang Bu Ida.”

Regan menerima foto itu. Lantas duduk di sofa reot yang ada di atap sekolah. Ody masih mempertimbangkan banyak hal untuk duduk di sana. Atau kalau masih cukup waktu, dia bisa berlari ke kantin sekarang. Rana pasti sudah ngambek.

“Duduk aja. Nggak ada cicak.”

“Tahu dari mana lo?”

“Gue sering duduk sama Gita di sini.”

“Nggak. Gue mau ke kantin aja.”

“Makasih lo udah balikin fotonya.”

Ody kembali mendekat ke sofa. Dia bersiap menyebutkan semua perjuangannya hanya untuk mengembalikan foto ini. Tapi urung karena melihat wajah Regan yang... berbeda.

Dengan hati-hati, Ody akhirnya duduk. Itu pun hanya separuh pantatnya yang duduk. Siapa tahu ada cicak yang tiba-tiba mencuat dari lubang sofa. Iya, kan? Sementara Regan duduk dengan santai, seperti sudah terbiasa. Iya, terbiasa. Kan tadi orangnya bilang sendiri kalau sering duduk di sini dengan Gita. Ya ya ya.

“Gue udah niat mau antar semalam, tapi hujan. Gue pikir paginya bakal ketemu lo.”

“Gue bawa mobil tadi.”

Bagus!

Ody menahan mulutnya agar tidak kelepasan. Dia tidak mengerti dalam mode apa Regan sekarang. Sepertinya sedang mengenang. Foto itu dia tatap sambil sesekali diusap dengan ibu jarinya.

“Orang dewasa egois semua ya, Dy?”

“Bukan egois, Re. Kita hanya belum bisa mengikuti cara berpikir mereka.”

“Kalau mereka nggak egois, mereka nggak akan bikin keputusan yang nyakitin anak-anak mereka.”

Oke. Ody mulai mengerti arah pembicaraan lelaki ini. Dia ikut menatap foto di tangan Regan.

“Mereka egois sejak kapan?”

“Gue umur empat tahun. Adriana masih dua tahun. Sehari setelah foto ini diambil. Jadi, mereka cuma nunggu hari ulangtahun gue. Lalu besoknya mereka bikin keputusan besar. Padahal keluarga kami baik-baik aja.”

Regan tercekat. Tapi dia ingin membagi sedikit bebannya pada Ody.

“Karena gue masih kecil. Gue tahunya cuma...” Jeda karena Regan menghela napas dalam-dalam. “Cuma gue harus ikut Mama yang tiba-tiba pindah tugas ke Jakarta. Dan Adriana tinggal di Bandung bareng Papa.”

“Gue terlalu kecil buat ngerti keadaan. Gue nggak bisa apa-apa. Sampai umur sepuluh tahun, Mama kasih pengertian. Selama enam tahun gue nggak tahu apa-apa. Gue marah. Jujur, kalau suruh milih, gue pengen di Bandung. Ikut Papa dan Adriana.”

R E T A K [1] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang