2 - Sebuah Pelukan

155 25 0
                                    

Biarlah seperti ini
Sekedar memelukmu
Tanpa memikirkan benci yang mengerogot hati
Untuk masalah yang telah lalu

....

Sebuah Bangunan memang terkadang memiliki keistimewaan tersendiri bagi seseorang. Entah itu bangunan mewah atau yang sederhana sekalipun. Bisa itu karena bentuk arsitektur, tempat, maupun kenangan didalamnya.

Dan Agam percaya bahwa bangunan sekolahan dasar ini memiliki keistimewaan tersendiri bagi Belva. Mengapa Agam bisa berpendapat demikian? Karena sejak 20 menit yang lalu Belva tak bosan-bosan mengelilingi bangunan berwarna merah putih itu. Dan karena hari ini sekolah tengah libur, jadi tak heran mengapa susananya sangat sepi.

Memang sejak ia menemani Belva berkeliling desa, tak sekalipun gadis berambut sepinggang itu mengucapkan sesuatu kepada Agam. Bahkan untuk menatapnyapun, Belva enggan melakukannya.

Walau demikian, Agam sudah lebih dari bahagia bisa menemani sahabatnya berkeliling desa dengan kedua kaki mereka. Jujur, Agam sangat ingin memeluk Belva. Menyalurkan rindu yang ia rasakan sejak kepindahan Belva beberapa tahun yang lalu. Tapi ia sadar jika ia melakukannya, sudah dapat dipastikan gadis itu akan menolaknya.

Agam mengerti mengapa sahabatnya bersikap demikian. Itu karena kesalah pahaman yang Belva lihat saat kematian ayahnya. Bukan Agam berniat tidak ingin mengutarakan kebenaran, hanya saja Belva selalu enggan mendengarkan apapun yang Agam bicarakan semenjak kematian mendiang ayahnya. Tapi Agam percaya, suatu saat nanti akan ada masanya Belva mengetahui kebenaran itu, dan membuat persahabat mereka kembali seperti dulu.

Agam berjalan dibelakang Belva dengan jarak sekitar 5 langkah. Hal itu ia lakukan karena untuk membuat Belva sedikit nyaman. Karena ia tahu, dengan keberadaannya saja membuat gadis itu merasa terganggu.

Mereka akhirnya keluar dari lokasi sekolah dasar itu. Angin yang bertiup kencang membuat helaian rambut kecoklatan Belva berterbangan. Hal itu disaksikan oleh Agam dengan senyum yang senantiasa mengembang, membuat lesung pipi diwajahnya terlihat.

Rintik hujan yang semakin deras dirasakan oleh kedua insan manusia yang tengah berada diarea persawahan. Dengan gerakan cepat, Agam menarik Belva menuju gubuk kecil ditengah persawahan. Belva mengikuti langkah lebar Agam sambil menutupi kepala dengan sebelah telapak tangannya yang terbebas dari Agam.

Belva segera duduk didalam gubuk yang disusul oleh Agam dengan keadaan mereka yang sudah basah kuyup. Gadis itu sedikit menggeser duduknya menjauhi Agam. Lagi-lagi, Agam hanya bisa pasrah melihat hal itu.

Belva menggosokkan kedua telapak tangannya. Badannya mulai menggigil menghadapi dinginnya suhu saat ini. Bibirnyapun sudah membiru. Meskipun berasal dari daerah pegunungan, dari dulu gadis itu memang tak pernah tahan dengan udara dingin. Apalagi ditambah dengan Belva yang sudah lama tidak mengunjungi desa ini, membuat tubuhnya sulit beradaptasi dengan suhu dingin di lingkungan tersebut.

Manik mata hitam milik Agam tak pernah lepas dari Belva. Ia khawatir dengan keadaan gadis yang tengah memalingkan wajahnya itu. Dulu saat kecil, Belva selalu terserang demam setelah bermain hujan-hujanan. Dan ia takut jika kali ini Belva akan mengalami hal yang sama.

Belva melepas jaket merahnya. Benda itu sudah tidak dapat melindungi tubuhnya dari suhu dingin, malah semakin membuatnya menggigil.

Gadis itu melotot kaget ketika melihat Agam melepas kaus oblong yang lelaki itu kenakan, hingga menampakkan tubuh bagian atasnya yang terbentuk. Memang tak sesempurna binaragawan, tapi pasti cukup untuk membuat kaum hawa disekolahnya terpukau.

" K-kamu ng-ngap-pain b-buka b-baju? " tanya Belva terbata karena giginya yang begemeletuk.

Agam tak menjawab pertanyaan Belva. Tanpa gadis itu sangka, Agam menarik tubuhnya hingga wajahnya membentur dada bidang lelaki itu. Tangan Agampun telah merengkuh tubuh mungil yang menggigil itu dengan erat.

"G-gam lepas! " Belva mendorong tubuh Agam sekuat tenaga. Tapi Karena kekuatannya tak sebanding dengan Agam, hal itu tak berefek apapun. Malah membuat Agam semakin mengeratkan pelukannya. Mungkin saat pertama bertemu, Belva bisa dengan mudah medorong tubuhnya karena kondisi Agam yang belum siap mendapat perlawanan. Tapi untuk kali ini, jangan harap Belva berhasil melakukannya lagi.

"Lepas! " Belva memukul-mukul dada Agam dengan kedua tangan mungilnya.

"Huussttt! Aku cuma nggak mau kamu kedinginan," Agam mengusap-usap punggung Belva. Berusaha memberi ketenangan.

"Tetaplah lah seperti ini untuk beberapa saat."  Ucap Agam sambil dagunya bertumpu pada puncak kepala Belva.

Gerakan tangan Belva semakin melambat, hingga akhirnya berhenti.

Tak dapat dipungkiri, hangatnya pelukan Agam membuat Belva nyaman. Tanpa sadar, gadis itu semakin meringsek kedalam pelukan Agam.

Kedua manusia itu memejamkan kedua matanya. Memang hanya diam, tapi jauh dilubuk hati, mereka tengah melepas rindu yang selama ini membelenggu. Tanpa kata, hanya rasa yang menjadi perantara.

Huam! Nulis part ini sampe jam 12 malam😪

Semoga feel nya dapet. Don't forget to VOMMENT😊

Dragoste (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang