Prolog

460 45 7
                                    

Salam pada ayah tercinta
Yang kini telah jauh disurga
Tulang punggung
Yang senantiasa mendukung
Tak pernah lelah
Meski dalam masa susah

....

Tetesan air masih tertinggal disela-sela dedaunan. Memberi bekas tanda hujan semalam. Seorang gadis melangkahkan kaki diantara jalan bebatuan yang menurun. Sedikit menajamkan penglihatan demi melawan kabut tipis yang menghalangi jarak pandang. Ia hirup dalam-dalam udara pagi hari ini, mengisi rongga dadanya dengan bau bunga kopi yang menyeruak indra penciuman. Kumpulan gundukan tanah itu menyambut sang gadis dengan pilu. Patokan-patokan bertengger rapi disetiap sisinya. Jalanan setapak yang ia lalui kini, dihiasi dengan bunga kamboja yang tergeletak acak dipermukaannya. Sesekali gadis itu memyelipkan anak rambut yang sedikit menutupi wajah.

"Ah, itu dia, " ucapnya lega setelah menemukan patokan yang bertuliskan Handoko. Ingatan tentang kejadian 7 tahun silam seketika berkelebat didalam kepala seiring dengan langkahnya yang semakin mendekati gundukan itu.

Ia menekuk kaki beralas sandal itu hingga berada dalam posisi berjongkok.
"Aku merindukanmu ayah, " bisik gadis itu pada patokan yang telah kehilangan warna putih bersihnya. Ia elus dengan hati-hati patokan itu, seolah tengah membelai rambut hitam milik jasad yang tengah terbaring didalamnya.

Hembusan angin menerpa kulit, bersamaan dengan suara jangkrik yang mengalun indah.

"Apakah kau bahagia disana yah? Apa kau juga merindukanku seperti aku yang selalu teringat wajahmu sebelum tidur? Kuharap jawabanmu iya. Bagaimana rupa surga yah? Pasti sangat indah bukan? Apa kau bertemu dengan kakek dan nenek? Jika bertemu, tolong sampaikan kalau aku juga merindukan mereka. Maaf beberapa tahun belakangan ini aku tak pernah mengunjungimu. Bukan ingin ku untuk seperti itu. Hanya saja keadaan yang membuatku tak dapat mengunjungimu setiap waktu," dia menghembuskan nafas berat sebelum kembali melanjutkan perkataannya.

"kau tahu, anakmu ini sekarang telah duduk dibangku SMA. Mengejutkan bukan? Bagaimana cepatnya waktu berjalan. Meninggalkan saat-saat dimana kita masih dapat bertatap muka. Saat kau dengan sabarnya menenangkan aku disaat hujan melanda. Merengkuhku dalam pelukan hangatmu. Dan memberiku senyum menenangkan saat aku dilanda kegundahan," gadis itu kembali berhenti sejenak. Menahan sekuat tenaga agar air yang terus mendesak dipelupuk mata tidak lolos keluar.

"Aku sangat merindukanmu ayah, apakah kita dapat mengulang kembali momen kebersamaan kita? Dan, kapan aku bisa menyusulmu? " genangan air yang sedari tadi ia tahan, akhirnya lolos juga. Membasahi pipi tanpa henti. Ditutupnya mulut dengan telapak tangan. Berusaha untuk meredam isak tangis yang keluar. Punggungnya bergetar hebat, menahan kesedihan yang mendalam.

Guyuran air dari atap bumi, memaksa gadis itu untuk segera beranjak pergi. Ia sempatkan untuk membersihkan rumput disekeliling tanah kubur, serta menabur bunga yang telah ia persiapkan sejak dari rumah. Tak lupa merapalkan doa sebelum benar-benar berlalu dari makam itu.

Sepuluh langkah lagi seharusnya kaki itu sudah sampai didepan pintu rumah, hingga tiba-tiba seseorang memeluknya dari arah depan yang membuat dia mau tak mau berhenti. "Bel, aku kangen banget sama kamu, " ucap suara bariton yang tengah memeluknya. Pelukannya begitu erat, seolah ingin meluapkan rindu yang selama ini membelenggu.

Pelukan ini. Bahkan tanpa melihatnya pun dia sudah tahu siapa orang yang tengah memeluknya. Ia dorong tubuh laki-laki didepannya sekuat yang ia bisa. Hingga membuatnya mundur beberapa langkah. Segera gadis itu berlari memasuki rumah, meninggalkan sosok laki-laki dengan sorot mata yang nenatapnya sendu.

Dragoste (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang