7 - Senja dan Mereka

84 13 0
                                    

"Bukan jejak sang senja yang membuat ku bahagia. Tapi kehadiranmu, pelukanmu, bahkan tingkah menyebalkanmu yang membuat luka ini sirna."

....

"Danau?" Belva mengernyit bingung melihat pemandangan didepannya. Untuk apa Agam membawanya kedanau?

Agam hanya mengangguk singkat menanggapi perkataan Belva. Tanpa Belva sadari, tangannya sudah digenggam erat oleh Agam sejak turun dari motor tadi.

Mereka berjalan bersisihan mendekati tepian danau. Agam terlihat begitu serasi berada disisi Belva yang hanya memiliki tinggi tubuh sebatas dagu laki-laki itu. Mata Agam tak pernah lepas dari sosok Belva disampingnya. Tatapannya menyiratkan kasih sayang dan kerinduan yang begitu besar, hingga membuat banyak gadis-gadis yang berada disekitar danau memandang Belva iri, berharap merekalah yang tengah berada diposisi Belva.

Agam kemudian duduk diatas rumput yang berada persis ditepi danau. "Sini! " Agam menepuk-nepuk rumput disampingnya sambil menatap Belva.

"Kenapa nggak duduk dibangku aja? " tanya Belva sambil tengah memperhatikan bangku taman yang tak jauh dari tempat mereka.

"Enakan disini, " jelas Agam.

Belva pun menurut, ia duduk disamping Agam tetapi tetap menjaga jarak.

Agam yang menyadari Belva masih tidak mau terlalu dekat dengannya hanya menghela nafas pasrah. Tapi ia akan terus berusaha membuat hubungannya dengan Belva kembali seperti dulu, sebelum adanya kesalah pahaman itu.

"Kenapa kamu ngajak aku kesini? " Belva menolehkan kepalanya menghadap Agam.

"Katanya, jingga pada senja itu bisa menjadi pengobat hati bagi mereka yang sedang terluka. Memang, tak sepenuhnya memulihkan, tapi paling tidak bisa menjadi penawar walau hanya sesaat hingga pelita itu redup berganti dengan sang malam. " ucap Agam dengan pandangannya yang menerawang kearah danau.

"Kamu lagi patah hati? " tanya Belva. Ia memiringkan tubuhnya hingga tepat menghadap Agam.

"Enggak, " jawab Agam singkat tanpa mengalihkan tatapannya dari danau.

"Terus siapa? " Lagi-lagi Belva dibuat bingung oleh Agam.

"Kamu. " Agam menolehkan kepalanya hingga matanya kini tepat menatap manik mata Belva yang tengah terkejut.

"S-siapa b-bil-bilang aku lagi p-patah hati, " elak Belva gelagapan sambil mengalihkan tatapannya dari Agam.

"Nggak usah bohong Bel, " sorot mata hangat itu terus menatap Belva yang tengah memalingkan muka darinya.

"Aku nggak bohong. A-aku emang nggak lagi patah hati." Belva terus mengelak. Ia menunduk, memandangi sepasang sepatunya yang berwarna hijau army.

"Buktiin kalau kamu nggak bohong. Tatap mata aku dan bilang kalau hati kamu sekarang baik-baik aja!" Agam menarik dagu Belva pelan hingga kepala gadis itu mendongak mentapnya.

Belva segera membuang pandangannya kesamping. Menghindari tatapan Agam. Ah, laki-laki ini kan memang sudah tahu jika Belva tak bisa menatap mata lawan bicaranya ketika ia sedang berbohong.

"See? Kau berbohong Bel, "

Tiba-tiba buliran air mata Belva turun dipipinya, diikuti isakan kecil yang terdengar jelas diindra pendengaran Agam. Entahlah, Belva hanya ingin menangis kali ini. Bukan, bukan karena ia menyesal telah memutuskan cowok brengsek itu. Tapi lebih tepatnya ia menangisi kebodohannya yang selama ini selalu memberikan cinta tulusnya pada orang yang salah. Dan.... Mungkin ia menangis juga karena Agam. Ia sebal saja dengan laki-laki itu. Entahlah.

Dragoste (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang