8 - Sakit kepala

81 8 2
                                    

"Jika sakit yang membuatmu perduli
Maka tak apa, aku rela sekarat setiap hari"

Secangkir matcha latte yang masih mengepul berada digenggaman kedua tangan mungil Belva. Menemani gadis itu menikmati langit malam yang kelam dengan sedikit titik cahaya yang mendampingi.

Ingatannya terus berputar pada kejadian tadi sore. Dimana ia dan Agam menghabiskan waktu di danau dengan tawa yang menyertai. Seolah tak ada masalah yang selama ini menjadi tembok pemisah antara keduanya. Seolah hati dan pikiran Belva telah berdamai dengan masa lalu mereka.

Tapi tetap saja, fakta tentang Agam yang telah dengan kejamnya membunuh Ayah Belva membuat segala bentuk kedekatan Agam dengannya terasa salah. Ia seolah-olah telah membuat dosa besar karena berdekatan bahkan tertawa dengan orang yang seharusnya ia benci.

Belva menghembuskan nafas beratnya. Menyeruput kembali matcha latte-nya yang tinggal setengah. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Mencoba melindungi kulitnya dari terpaan angin malam. Ia tadinya berniat mengambil jaket didalam kamar, tetapi karena tubuhnya sudah terlanjut nyaman duduk dikarpet berbulu dibalkon ini, ia jadi mengurungkan niatnya itu.

Baiklah. Belva mencoba memaafkan kedekatannya dengan Agam sore tadi. Lagi pula mungkin karena ia baru diputuskan Dimas jadi otaknya sedikit error dan membiarkan dirinya berdekatan dengan mantan sahabatnya itu.

Untuk kedepannya Belva berjanji akan menjaga jarak dengan Agam. Agar laki-laki itu tahu perbuatannya dimasa lalu itu adalah hal yang fatal dan tidak mudah untuk dimaafkan.

Ngomong - ngomong tentang Agam, laki-laki itu belum pulang hingga kini. Tadi, setelah ia dan Belva pulang dari danau, Agam langsung melesat pergi dengan motornya lagi tanpa mengatakan sepatah katapun. Dan berakhir dengan Belva yang diomeli satu jam lebih oleh Bundanya karena dituduh ia yang memaksa Agam menemaninya jalan - jalan hingga menjelang malam. Padahal Belva telah menceritakan yang sebenarnya, tapi Bundanya itu malah membela Agam terus - terusan. Heran, sebenarnya siapa si anak Bundanya? Dia atau Agam? Kenapa dari dulu Bundanya selalu membela Agam dibanding dirinya? Menyebalkan!

Belva melirik kearah jam dinding yang terpajang manis didinding kamarnya. Sudah pukul 11 malam dan Agam belum pulang. Kemana si sebenarnya laki-laki itu? Ada urusan apa hingga dia harus keluar rumah sampai selarut ini?

Apa jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Agam? Apa Agam terluka? Atau yang lebih parah penyakit Agam kambuh lagi?

Ah tidak. Kata Mama Aini kan Agam sudah mendapat pengobatan. Jadi opsi terakhir rasanya tidak mungkin. Lagipula mana mungkin Agam masih suka membunuh?

Atau jangan-jangan Agam benar  terluka? Tapi jika itupun benar kenapa ia harus khawatir? Seharusnya mau Agam terluka, tersesat, atau bahkan diculik orang pun itu bukan urusannya.

Belva menggigit jari kukunya. Mencoba meredam rasa khawatir yang tak dapat ia sangkal lagi. Ingin menelepon Agam, tapi ia tak punya nomor ponsel laki-laki itu.

Hingga satu jam lebih ia belum bangkit dari posisinya. Pikirannya terus tertuju pada Agam. Minumannya pun teronggok di sampingnya hingga dingin.

Bruumm! Bruumm! Deru motor yang baru saja memasuki pekarangan rumah Belva menyadarkan gadis itu dari lamunannya. Terlihat Agam dengan jaket hitamnya duduk diatas motor sport miliknya.

Tanpa sadar Belva menghela nafas lega. Rasa khawatirnya hilang seketika melihat Agam yang nampaknya baik-baik saja.

Syukurlah. Ketakutannya tak menjadi nyata.

Belva tersenyum. Hatinya terasa lebih ringan. Matanya kembali mengamati langit malam tanpa bintang tetapi kali ini tak mampu menghilangkan senyum manis yang terpatri diwajah Belva.

Dragoste (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang