5 - The Stare

104 14 0
                                    

Mengapa harus menanti yang tak pasti? Jika dia selalu ada.

Pernahkah kau merasa waktu seakan berhenti? Membuatmu tak bergeming dari tempat dimana kau berpijak. Membekukan syaraf hingga kau tak mampu hanya untuk sekedar bersuara. Memaksa paru-paru menghentikan aktifitasnya sejenak. Menyebabkan kelopak mata tak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Hanya otak yang mampu bicara tanpa kata. Tanpa mulut yang membantunya. Serta fokusmu yang hanya tertuju pada dia.

Itulah yang dirasakan oleh kedua insan yang tengah berdiri diambang pintu. Saling berpandangan, tak menyangka dengan apa yang ada dihadapan mereka.

"Agam! " Teriakan Bu Nia memecahkan kebekuan yang beberapa saat lalu mendominasi.

"Bunda." Agam segera tersadar dari pikirannya. Ia mengalihkan tatapannya dari manik mata coklat milik Belva. Menghampiri Bu Nia lalu memeluk wanita itu.

Seperti Belva dengan Bu Aini, Agam pun telah menganggap Bu Nia seperti ibu keduanya. Jadi, tidak heran jika Agam juga memanggil Bu Nia dengan sebutan Bunda.

"Kenapa kamu nggak ngabarin Bunda kalau kesini hari ini, " tanya Bu Nia setelah melepaskan pelukan mereka berdua.

"Lupa Bun, " jelas Agam sambil tersenyum hingga memperlihatkan kedua lesung pipinya.

Bu Nia hanya geleng-geleng kepala menanggapi ucapan Agam.

"Eh, ada Prince-nya Belva. Apa kabar bro? " sapa Rafa dengan panggilan khususnya kepada laki-laki yang mengenakan jaket dengan dalaman kaus berwarna putih, yang disempurnakan dengan celana jeans serta sepatu sneakers sebagai pelengkapnya. Bukan tanpa alasan Rafa memanggilnya dengan sebutan itu. Hal itu dikarenakan Rafa yang selalu menganggap jika Agam adalah pangeran berkuda putih penolong adiknya. Terdengar aneh memang. Apalagi dari dulu Agam sama sekali tak pernah menunggangi kuda.

"Baik Mas. " Agam pun menjabat tangan Rafa yang telah terulur kearahnya.

"Ngobrolnya lanjut didalem aja yuk," ajak Bu Nia sambil merangkul Agam untuk masuk kedalam rumah.

"Emmm Bun, Agam langsung mau istirahat aja boleh nggak? " tanya Agam ketika telah sampai diruang tamu.

"Oh kamu mau langsung istirahat? Ya udah nggak papa. Pasti capek perjalanan dari desa kesini. Ngobrolnya lanjut besok aja. Kamar kamu ada diatas. Sebelahnya kamar Belva yang pintunya banyak origaminya itu, " ucap Bu Nia penuh pengertian sambil menunjuk sebuah pintu dilantai dua.

"Makasih Bun. Agam kekamar dulu, " pamit Agam dengan ransel hitam dipunggungnya.

"Agam kekamar dulu Mas Rafa," Agam melambaikan tangan pada Rafa yang telah duduk disofa ruang tamu, yang dibalas dengan lambaian tangan laki-laki jurusan manajemen dan bisnis itu.

"Bel, kamu kenapa masih disitu? " tanya Rafa sambil memicingkan mata.

"Eh? " Belva baru sadar bahwa sedari tadi ia masih berdiri diambang pintu. Ia masih terkejut dengan kedatangan Agam yang tiba-tiba. Ditambah dengan sikap Agam yang tak menyapanya sama sekali semakin membuat keterkejutannya bertambah berkali-kali lipat. Bukannya Belva berharap Agam beramah-tamah dengannya. Tapi sikap lelaki itu sangat kontras dengan apa yang terjadi di gubug sawah beberapa waktu lalu.

"Jangan lupa tutup pintunya! " titah Bu Nia.

"Iya." setelah menutup pintu, Belva memutuskan untuk menghampiri Bu Nia dan Rafa yang tengah mengobrol diruang tamu.

....

Sarapan pagi ini terasa begitu menyebalkan bagi Belva. Ia jadi tidak bisa menikmati makan paginya karena kehadiran Agam dimeja makan. Ditambah dengan kakak tercintanya yang telah berangkat keluar kota, membuat suasana hati Belva bertambah buruk. Jika biasanya ia selalu bercerita mengenai apa saja saat berada dimeja makan, maka lain dengan hari ini. Ia memilih diam. Kepalanya menunduk, memperhatikan sepiring nasi goreng didepannya yang belum tersentuh sama sekali.

Dragoste (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang