Prolog

2.6K 931 1.3K
                                    

S H O U L D N ' T - B E

Layaknya puisi yang membisu di ujung waktu, senyummu selalu bersuara meski tak pernah menyentuh kata-kata.

***

"Lo ngapain di sini?" Pertanyaan dengan nada sarkas itu menguar di udara, membentuk gelombang suara yang kemudian masuk ke gendang telinga. Sang gadis yang berucap lantas memicingkan mata. Menatap penuh selidik pada lawan bicaranya.

"Menjemput nona tentu saja," balas sang pemuda seraya tersenyum kecil.

"Oh, sekarang lo ganti profesi jadi tukang ojek?" Sang gadis bertanya merendahkan. Tatapan matanya dipenuhi dendam dan amarah yang tergambar jelas tanpa cela.

"Iya, khusus untuk nona, Cia."

Jawaban menjijikan yang baru saja berdengung di telinganya berhasil membuat sang gadis bergidik jijik. Ia hampir mengeluarkan umpatan kasar kala manik matanya tak sengaja menangkap senyum tipis di bibir pemuda itu.

"Barusan lo ngomong?"

"Je—"

"Gue pikir lo kumur-kumur." Sang gadis menyela cepat. Demi apapun dirinya benci situasi saat ini.

"Masih pagi, lo nggak perlu buang tenaga." Sang pemuda berkata diiringi tawa ringan. Wajahnya yang putih bersih nampak berseri terpapar sinar matahari.

"Masih pagi, nggak usah mancing emosi," balas sang gadis dengan intonasi suara yang semakin tidak enak didengar.

"Mending kita berangkat," kata pemuda itu lagi.

"Mending lo segera enyah dari hadapan gue," balas gadis itu mulai menampakkan wajah kesal. Ia rasanya ingin sekali mencakar lawan bicaranya karena terlalu banyak mengucapkan omong kosong.

"Lo hari ini cantik." Sang pemuda memuji gadis itu secara tiba-tiba. Ia bisa merasakankan hatinya menghangat ketika menangkap wajah gadis di hadapanya yang mulai memerah.

"Lo selalu jelek."

Sang pemuda terkekeh, tidak tahan dengan jawaban yang terdengar mengemaskan di telinganya. Untuk pertama kali setelah semua yang terjadi, dia mengakui bahwa kemarahan gadis itu mampu membuatnya bahagia.

Wajahnya yang memerah, deru nafasnya yang memburu, serta mata bulatnya yang melotot tajam mampu membuat sang pemuda berdebar tanpa sadar. Ia seolah tidak merasa ragu untuk mengatakan bahwa Crecencia benar-benar kamuflase dari kata sempurna.

"Sayang."

Ingatkan pemuda itu bahwa apa yang baru saja ia katakan sangatlah menjijikan. Panggilan itu tidak termasuk ke dalam rencana yang seharusnya ia lakukan. Sang pemuda mungkin sudah gila, dirinya melewati batasan yang telah ditentukan.

Dan bukannya mendapatkan senyum malu-malu atau wajah yang merona karena suka, pemuda itu justru mendapatkan tatapan tajam nan mematikan. Cia, gadis di hadapanya itu mengertakkan gigi, mengepalkan kedua tangan sebelum akhirnya berteriak penuh kemurkaan.

"ARKA SETAN!"

***

Llow.luv
Wednesday, 27 July
20.40

Shouldn't BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang