Your vote and comment are so precious for me. So, jangan lupa diramein tiap paragrafnya! Love u all.
***
Supaya segalanya membaik, kamu adalah satu-satunya yang bertanggungjawab mewujudkannya.
—Shouldn't Be***
"Gue bukannya nggak ngerti gimana perasaan elo atau apa yang udah lo alamin. Gue di sini cuma berusaha berpikir realistis dan berusaha bantu elo buat keluar dari semua masalah. Kalau boleh jujur gue juga nggak suka, Ci, lihat lo dibully kayak gini. Gue juga nggak terima saat semua siswa nyalahin lo atas sesuatu yang nggak lo lakuin." Areta berkata sembari menatap lurus ke depan. Ia tidak melihat ke arah Cia yang kini tengah menangis dalam diam.
"Sampai kapan lo akan bertahan dengan kondisi kayak gini? Sampai kapan lo bakal denial dan melimpahkan semua rasa sakit lo buat Arka? Lo nggak bakal pernah merasa bebas kalau terus-terusan kayak gini, Cia. Lo perlu melakukan sesuatu untuk menebus semua perasaan itu," lanjut Areta dengan suara yang dibuat selembut mungkin. Ia tidak ingin semakin menyakiti Cia dengan perkatannya.
"Lo mungkin bisa membohongi pemikiran elo kalau semua ini terjadi karena ulah Arka. Lo bisa menolak semua fakta dan bersikap kalau lo hanya korban di sini. Tapi Cia, hati kecil lo nggak akan pernah bisa mengelak dari kenyataan yang ada. Lo pasti merasa bersalah dan merasa terbebani dengan ini semua." Areta menghentikan ucapannya saat mendengar Cia menghela nafas berat. Netra gadis itu kemudia berusaha melihat sang sahabat meski hanya lewat sudut matanya.
"Gue bodoh banget ya, Ta?" Suara Cia bergetar saat mengutarakan kalimatnya. Gadis itu semakin menundukkan kepala karena tak kuasa melihat ke arah Areta.
"Lo nggak salah, Cia. Tapi tindakan yang lo ambil juga bukan sesuatu hal yang benar," balas Areta seraya merangkul lengan Cia. Ia membawa kepala sang sahabat untuk bersandar di pundaknya.
Kondisi taman belakang sekolah yang pagi itu sangat sepi membuat Cia akhirnya menumpahkan semua tangisnya. Ia dalam pelukan Areta mengeluarkan semua perasaan yang selama ini mengganjal di hati. Cia secara sadar membenarkan semua yang dikatakan Areta. Ia tidak lagi mengelak dan menerima semua kenyataan itu dengan tangan terbuka.
Cia melakukan hal itu karena merasa sudah ada di titik di mana ia tidak sanggup untuk berpura-pura. Ia tidak bisa lagi terlihat tegar saat semua masalah ini membuat hatinya remuk redam. Cia tidak bisa menahan rasa sakit atas semua hinaan yang dilayangkan teman-temannya. Dia tidak bisa bersembunyi lagi di balik topeng keras kepala dan merasa benar di atas segalanya.
Cia di waktu yang sama juga menyadari bahwa dirinya tidak lebih dari parasit di kehidupan Arka. Pemuda sebaik dan sesempurna itu harus berurusan dengan manusia tidak tahu malu seperti dirinya. Arka selalu menolong dirinya saat ia ada dalam masalah seperti kemarin sore. Pemuda itu masih berbaik hati padanya setelah semua yang ia lakukan pada dia.
"Ta, gue emang salah. Gue bodoh, Ta!"
Bayangan bagaimana dirinya mengambil helm Arka berputar di kepala. Disusul kejadian di kantin dan juga kebaikan Arka yang menyelamatkannya dari preman di jalan. Sikapnya yang seenak jidat memaki Arka dan membuat pemuda itu kesal juga tak luput dari ingatan. Cia secara jelas bisa mereka ulang semua adegan dan menemukan kenyataan bahwa dirinya memang paling bersalah di sini.
"Apa yang harus gue lakuin, Ta? Apa yang bisa nebus semua dosa gue ke Arka dan semua rasa sakit ini?" Cia memukul dada saat ingatan tentang bullyan masuk ke ingatannya. Perasan bersalah dan amarah kini melebur menghimpit dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shouldn't Be
Jugendliteratur"Hadirmu bukan sebagai obat, melainkan cacat yang membuatku sekarat." *** Arkananta Abraham nampaknya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan lika-liku dunia. Hidupnya yang serba mujur dan teratur membuat ia lupa bahwa segalanya bisa hancur lebur. A...