Di antara ribuan memorabilia, mengapa angkasa memilih namamu untuk tersemat di belahan kejora?
-Arkananta Abraham***
Arka berdiri tepat di tengah lapangan. Pemuda itu sedang membungkukkan tubuh dengan tangan yang menopang berat badan di atas lutut. Arka berusaha untuk menetralkan deru nafasnya yang memburu. Dua puluh menit berlalu dan Arka baru saja menyelesaikan hukumannya.
Tangan Arka lalu bergerak untuk menyeka keringat yang mengalir di sekitar pelipis dan dahi. Sinar matahari yang terasa menyengat membuat keringatnya mengucut deras. Arka mendongakkan kepala untuk menikmati semilir angin yang membelai lembut kulitnya. Ia berharap rasa gerah yang ia rasa segera pergi dari tubuhnya.
Sepuluh detik setelah itu, Arka mengedarkan netra ke sekeliling. Ia tidak menemukan apapun selain lorong-lorong yang sepi. Arka lantas melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelum memungut rangsel yang tergeletak di dekat tribun penonton. Pemuda itu menghela nafas, meratapi nasib sial yang menimpa dirinya pagi ini.
Demi apapun Arka tidak pernah mengira akan ada di posisi ini. Ia harus menjalankan sebuah hukuman walau tidak melakukan kesalahan. Arka juga tidak bisa membayangkan bagaimana respon siswa lain jika melihatnya di sana. Kesialannya pagi ini akan membuat namanya buruk di mata semua siswa.
Andai waktu bisa diputar dan diulang. Arka tidak akan menghampiri gadis itu dan memilih untuk langsung masuk ke dalam. Dirinya tidak akan repot-repot menegur gadis gila itu karena melanggar peraturan. Dirinya tidak akan berada di sana dan tidak akan mendapatkan hukuman seperti sekarang.
Terlalu larut memikirkan apa yang terjadi, Arka sampai tidak sadar jika dirinya sudah berada dua puluh meter dari pintu kelas. Pemuda itu mengerutkan dahi melihat teman-temannya keluar masuk kelas dengan santai. Ia bahkan melihat Danish, sang ketua kelas tengah bermain uno di samping pintu. Arka kemudian menghampiri salah satu temannya, bertanya pada cowok berkacamata itu.
"Kelas Bu Nisha kosong?" tanya Arka.
Rifki, cowok itu menganggukan kepala. Matanya berbinar cerah saat menjawab pertanyaan dari Arka. "Iya," balasnya dengan semangat.
Arka mengucapkan terimakasih pada Rifki atas jawaban yang diberikan. Ia lalu melanjutkan langkahnya untuk memasuki ruang kelas agar bisa beristirahat. Di depan pintu besar itu Arka mengedarkan pandang. Ia mencari kedua temannya, Marvin dan Zahfran.
Marvin yang terlebih dahulu menyadari kehadiran Arka melambaikan tangan pada pemuda itu. Membuat Zhafran yang sedang mengerjakan soal di buku paket ikut melihat ke arah Arka. Keduanya lantas mengeryitkan dahi saat mendapati penampilan Arka. Pemuda itu terlihat berantakan dengan rambut yang lepek karena keringat.
"Gue kira lo absen hari ini," ujar Marvin ketika Arka mendudukkan tubuhnya di samping Zhafran. Pamuda itu tengah memainkan rubrik di tangannya.
"Kemana aja lo jam segini baru masuk kelas?" timpal Zhafran mengajukan pertanyaan. Ia menutup buku dan memasukkan benda itu ke dalam laci meja. Zhafran mengamati Arka, ia bisa melihat pemuda itu tidak bersemangat pagi ini.
"Gue habis keliling lapangan," ungkap Arka. Netranya bergerak mengamati Marvin dan Zhafran secara bergantian.
"Ngapain lo keliling lapangan? Ngejar mantan?" tanya Marvin.
"Lo telat sampai harus keliling lapangan?" sahut Zhafran.
Arka menggelengkan kepala. Menjawab pertanyaan mereka berdua. "Gue dihukum. Helm gue diambil orang gila," jelas Arka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shouldn't Be
Teen Fiction"Hadirmu bukan sebagai obat, melainkan cacat yang membuatku sekarat." *** Arkananta Abraham nampaknya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan lika-liku dunia. Hidupnya yang serba mujur dan teratur membuat ia lupa bahwa segalanya bisa hancur lebur. A...