Part 8 | Fuck Feelings

573 256 99
                                    

Your vote and comment are so precious for me.
So, jangan lupa diramein tiap paragrafnya!

***

Kita hanyalah Asa yang dipermainkan semesta.
—Shouldn't Be

***

"Harusnya lo tuh tonjok dia, kalau perlu benturin kepalanya ke tembok biar kagak kebanyakan bacot." Tere berujar marah sesaat setelah Cia menceritakan apa yang dia alami di toilet. Gadis urakan itu dengan wajah bantalnya menggebrak meja guna menyalurkan keinginan untuk menghabisi Samantha.

"Lagian lo juga punya sabuk hitam taekwondo, masa ngelawan mereka aja kagak bisa?"

Cia, Tere, dan Areta saat ini tengah berada di dalam kelas mereka. Dengan posisi Areta duduk di samping Cia dan Tere di depannya, ketiga gadis itu membicarakan kejadian yang menimpa Cia. Meski jam pulang sekolah sudah berakhir tiga puluh menit lalu ketiganya masih betah di sana. Mereka justru merasa semakin bebas untuk membahas tentang manusia menyebalkan bernama Samantha.

"Gue nggak bisa." Cia membalas ucapan Tere sembari menghela nafas berat. Kilatan rasa kesal dan juga amarah masih tergambar jelas di kedua bola matanya.

"Kenapa? Karena dia anak donatur di Gemintang?" Tanya Tere.

Cia menganggukan kepala. "Lo tahu sendiri, dia bisa—"

"Cewek kayak dia udah sepantasnya dikasih pelajaran biar ngerti aturan. Persetan sama apa yang bisa dia lakuin." selak Tere tak enak hati. Membayangkan apa yang dialami Cia membuat hatinya gerah dan juga marah.

"Kalau lo emang nggak berani, biar gue aja yang maju. Biar gue—"

"Sebelum lo maju buat ngadepin Samantha, alangkah baiknya lo selesaiin dulu tugas fisika lo." Areta yang sejak tadi hanya diam akhirnya angkat suara. Gadis yang tengah memberesi alat sekolahnya itu memutar bola mata jengah mendengar obrolan sang sahabat.

Bagi Areta, apa yang diceritakan Cia hanyalah bentuk konsekuensi yang sudah seharusnya gadis itu dapatkan. Kejadian yang Cia alami bukan sebuah kesengajaan melainkan dampak dari masalah yang sudah ada. Kejadian buruk ini harusnya bisa dicegah kalau saja Cia tidak keras kepala. Gadis itu harusnya tidak menjadi korban bully kalau saja mau meminta maaf pada Arka.

Bukan. Bukan maksud Areta membenarkan apa yang dilakukan Samantha. Perilaku tidak bermoral gadis itu tentu tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditoleransi. Hanya saja tabiat buruk Samantha yang sudah mendarah daging tidak bisa disalahkan. Kelakuan gadis itu memang sudah buruk bahkan sebelum Cia  mengalami semuanya.

"Lo tuh nggak ngerti, Ta. Cewek kayak Samantha perlu dikasih pelajaran biar gak seenaknya sendiri. Dia nggak bisa asal ngeluarin siswi cuman karena mereka deketin Arka." Terevina berdecak membalas ucapan Areta. Ia menatap sang sahabat dengan alis menukik tak suka.

"Ya terus dengan balas dendam bakal menghasilkan apa? Lo yakin bisa bikin Samantha berubah dan nggak ngelakuin hal itu lagi?" Tanya Areta. Dia menatap sangsi ke arah Tere yang sempat terdiam beberapa saat.

"Setidaknya gue bisa bikin dia kapok."

"Di otak lo selain balas dendam—"

"Lo kenapa sih, Ta? Lo nggak suka gue belain Cia, lo nggak mau sahabat lo ini bebas dari—"

"Bukan itu poin yang gue maksud, Re." Areta melipat tangan di atas meja ketika tahu ke mana arah kalimat Tere. "Gue juga nggak suka dan nggak setuju sama apa yang dilakuin Samantha. Tapi bukan berarti ngebales dia adalah hal yang bisa dilakukan dan dibenarkan," kata gadis itu.

Shouldn't BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang