Didedikasikan untuk kalian yang masih setia menunggu kisah ini. Selamat membaca, selamat menikmati. Jangan lupa tinggalkan komentar dan vote untuk aku hihi.
***
Harapan yang menjadi obsesi akan membentuk imaji pembunuh nurani.
-Llow.luv***
Marvin datang tepat tiga puluh menit sebelum bel pulang sekolah dinyalakan. Pemuda itu dengan tergopoh-gopoh membuka pintu rooftop sembari membawa kotak P3K di tangannya. Marvin tidak berhenti mengeluarkan dumelan dari bibir manisnya. Pemuda itu mencibir Arka yang mendapatkan luka cukup parah pada di kedua tangannya.
Entah apa yang sudah dilakukan pemuda itu Marvin tidak tahu. Ia menemukan Arka sudah dalam kondisi mengerikan seperti itu setelah dirinya menyelesaikan tes olimpiade di ruang guru. Yang Marvin dengar hanya kabar Arka resmi dikeluarkan dari list ketua MPK. Sahabatnya yang menggilai posisi itu di depak setelah ketahuan bercumbu dengan Samantha.
Gilanya lagi, Marvin menemukan Arka yang hanya duduk diam dengan pandangan kosong. Dia membiarkan luka pada tangannya mengering bahkan sampai dikerubungi lalat. Pemuda itu terlihat tidak bernyawa meski helaan Napas berat seringkali terdengar. Dia bahkan tidak berkutik saat Marvin mendekat mengobati lukanya dengan kapas dan alkohol.
"Lo kenapa sih anjing sampai luka-luka begini. Ini emak lo apa enggak ngamuk lihat anak kesayangannya kayak mumi begini." Marvin membalut luka terakhir Arka dengan kasa setelah memberinya obat merah. Ia dengan teliti memeriksa keseluruhan tubuh sang sahabat takut-takut ada luka lain yang tidak dirinya ketahui.
"Mending cuma luka begitu, gue kira dia udah bunuh diri terjun dari sini." Zhafran yang sejak tadi bersadar pada tembok berucap. Pemuda itu akhirnya mendekat setelah hanya menjadi pengamat sejak datang.
"Mulut lo anjing, amit-amit." Marvin menggelengkan kepala tidak percaya mendengar ucapan Zhafran yang kelewat santai. Ia tidak mengerti dengan kedua sahabatnya yang mendadak perang dingin itu.
Zhafran terkekeh. "Orang yang kelewat obsesi sama jabatan kalau gagal ngapain? Salah kah omongan gue?"
Marvin memicing. "Ya gak gitu juga dong anjir. Gini-gini dia masih temen lo. Ntar kalau dia mati duluan lo yang ribet dimintai keterangan sama kepolisian," kata pemuda itu sebelum menutup kotak obatnya. Marvin kemudian berdiri dari posisi jongkoknya dan ikut bergabung duduk di sebelah Arka.
"Lagian titisan dakjal kayak Samantha dipercaya." Zharan mencibir dengan suara pelan. "Udah lah, cuman karena lo gagal jadi ketua MPK bukan berarti semuanya gagal juga. Lo masih punya kesempatan di banyak hal."
Marvin mengangguk setuju. "Iya njir, lo jangan kayak mayat hidup begini elah. Masih banyak yang bisa lo lakuin instead cuman jadi ketua MPK. Lo masih bisa kejar mimpi lo jadi atlet taekwondo, jadi pemegang saham utama di perusahaan bokap lo, atau jadi kepala keluarga yang baik buat rumah tangga lo nanti," sambung Marvin sembari terkekeh di akhir kalimatnya.
Arka melirik kedua temannya. "Lo berdua nggak paham," katanya dengan suara pelan.
"Bukan nggak paham, tapi emang kita gak nyampe sama jalan pikiran elo." Zhafran merotasikan bola matanya, muak mendengar jawaban Arka yang selalu sama. "Lagian ini cuma jabatan ketua MPK, Ka. Yang mana bahkan bukan apa—"
"Tapi bagi gue ini segalanya. Jadi ketua MPK salah satu mimpi terbesar gue." Arka mendengus tak suka. Tatapan matanya menajam melihat Zhafran yang berdiri tegap di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shouldn't Be
Teen Fiction"Hadirmu bukan sebagai obat, melainkan cacat yang membuatku sekarat." *** Arkananta Abraham nampaknya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan lika-liku dunia. Hidupnya yang serba mujur dan teratur membuat ia lupa bahwa segalanya bisa hancur lebur. A...