Your vote and comment are so precious for me. So, jangan lupa diramein tiap paragrafnya! Love u all.
***
Andai rasa ini dapat bersuara, aku yakin semesta tak akan mampu membendung gemanya.
—Arkananta Abraham***
Putaran roda motor Arka semakin memelan ketika mereka memasuki kawasan perumahan. Cia yang berada di jok belakang sejak tadi sibuk mengarahkan pemuda itu agar sampai di rumahnya. Arka sendiri sebisa mungkin mengikuti apa yang dikatakan si gadis gila tanpa mengeluarkan bantahan. Ia tidak ingin memancing keributan di jalanan yang sepi dan mencekam.
Kuda besi yang ditumpangi Arka dan Cia kemudian benar-benar berhenti di depan sebuah rumah minimalis. Rumah yang masih menggunakan kayu sebagai bahan utamannya itu menjadi titik akhir perjalanan mereka. Cia yang menyadari hal itu tentu sesegera mungkin turun dari posisinya. Ia tanpa berpegang pada Arka melompat ke bawah lalu berdiri di samping pemuda itu.
"Terima kasih ya, Ka, karena lo udah nolongin gue. Terima kasih juga karena lo udah bantuin gue dari preman-preman itu. Gue nggak tahu gimana nasib gue kalau aja lo nggak datang ke sana. Gue berhutang banyak sama elo dan gue nggak bakal lupain ini." Cia berucap dengan wajah sungguh-sungguh pada Arka. Gadis itu terlihat benar-benar berterima kasih pada karena Arka telah menyelamatkannya.
Sedangkan Arka yang mendengar hal itu bisa merasakan perasaannya membaik. Ia merasa pilihannya untuk menolong gadis itu sudah benar dan tidak perlu disesali. Arka juga berharap dengan kejadian ini semua permasalahan dengan gadis itu bisa diselesaikan. Ia mengharapkan Cia benar-benar berubah dan tidak lagi membuat masalah.
"Gue lakuin—"
"Itu kan yang lo harapkan?" Ucapan Arka terpotong suara Cia yang terdengar berbeda dari sebelumnya. Gadis itu mendadak kembali menyebalkan dengan mata yang menyorot hina pada Arka.
"Itu kan kalimat yang ingin lo dengar dari gue? Lo pasti udah ngebayangin kalau gue bakal berterima kasih dan memuja lo karena udah nyelamatin gue," lanjut Cia sembari melipat tangan di dada.
"Asal lo tahu Arka, gue nggak sudi buat berterima kasih sama cowok munafik kayak elo. Buat apa lo berpura-pura nolongin gue kalau lo juga yang udah ngebuat gue ditilang. Lo kan yang udah ngambil helm gue di parkiran? Semua ini udah lo rencanain buat balas dendam ke gue kan?" Todong Cia dengan perasaan kesal pada Arka.
"Lo jangan sembarangan—"
"Segitu pengennya ya lo ngembaliin image lo di mata semua siswa," sela Cia sembari mengingat kejadian yang ia alami di sekolah.
Saat itu, Cia berusaha untuk memahami dan merenungi semua yang dikatakan Areta. Ia memerlukan waktu satu jam lamanya untuk berdiam diri dan juga introspeksi. Tere yang awalnya berniat menemani gadis itu bahkan sampai bosan dan memilih untuk pulang terlebih dahulu. Ia meninggalkan Cia sendirian di tempat itu untuk merenungi semua kesalahannya.
Lalu setelah Cia sadar dan mau mengakui diri, dia justru disambut dengan kejadian yang membuat amarahnya naik kembali. Ia yang kala itu hendak pulang ke rumah tidak menemukan helm di motor scoopynya. Cia bersumpah bahwa pagi tadi dirinya mengenakan helm dan menaruhnya di sana. Tetapi sore itu, ia tidak menemukan benda pelindung kepalanya.
Fokus Cia detik itu juga tentu langsung tertuju pada Arka. Presepsi negatifnya mengenai sang calon ketua MPK kembali naik ke permukaan dan tentu terlihat benar. Semua diperparah dengan kenyataan bahwa Cia mendapatkan tilangan saat berada di jalan pulang. Ia bahkan secara tiba-tiba didatangi Arka yang entah dari mana datangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shouldn't Be
Ficção Adolescente"Hadirmu bukan sebagai obat, melainkan cacat yang membuatku sekarat." *** Arkananta Abraham nampaknya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan lika-liku dunia. Hidupnya yang serba mujur dan teratur membuat ia lupa bahwa segalanya bisa hancur lebur. A...