Double update! Sebagai bentuk permintaan maaf karena sering ngaret sekaligus perayaan hari lahir mas pacar. Hope u enjoy with this part, meski bagian ini menurutku lumayan memancing emosi. Oh ya, jangan lupa juga buat diramein tiap paragrafnya bcz your vote and comment are so precious for me.
***
Aku terlalu sering berbohong, hingga tidak bisa melacak kebohonganku sendiri.
—Arkananta Abraham***
"Gila lo! Gue nggak mau lakuin itu!" Adalah kalimat penolakan yang diucapkan secara lantang setelah perdebatan panjang keduanya. Sosok berhoodie merah maroon yang berdiri tak jauh dari pintu itu melempar tatapan tajam pada lawan bicaranya.
"Ucapan gue barusan bukan penawaran, tapi perintah. Gue nggak terima penolakan apapun alasannya," sahut sosok lain dengan aura keangkuhan yang begitu kentara. Lewat sorot mata, dia seolah menantang si hoodie merah yang tengah menahan emosinya.
"Gue nggak peduli!" Si hoodie merah menegakkan tubuh sebagai bentuk bantahan. "udah cukup lo buat hidup Arka berantakan. Udah cukup lo manfaatin gue untuk ngelakuin hal serendah itu. Kali ini gue nggak peduli. Gue nggak mau semakin merasa—"
"Kalau lo mau besok mayat Ibu lo ada di depan rumah sih silahkan aja. Gue nggak akan maksa lagi." Kalimat selaan yang sarat ancaman itu berhasil menjeda ucapan si hoodie merah. Membuat sosok itu mengatupkan mulut rapat-rapat dan kehilangan semua keberaniannya.
"Kenapa diem?" Alis si angkuh naik sebelah mengejek lawan bicaranya. "lo bisa keluar dari rumah gue sekarang. Semuanya udah selesai kan?" Katanya sembari mengambil langkah untuk menjauh dari ruang tamu. Dalam hati, dia sebenarnya tengah tertawa ria karena tahu sosok hoodie merah itu tak akan mampu menolak permintaannya.
Sedangkan si hoodie merah tentu merasa panik luar biasa. Amarah yang semula ada di ujung kepalanya mendadak hilang entah ke mana. Semua tertelan rasa takut akan ancaman yang diserukan lawan bicaranya. "Jangan apa-apain Ibu, please," serunya berusaha menghentikan pergerakan si angkuh yang mulai menapaki tangga. "Gue janji bakal turutin semua perkataan elo. Tapi gue mohon, jangan apa-apain Ibu."
"Apapun?" Si angkuh bertanya tanpa membalikkan badan. Dia hanya menghentikan langkahnya di sana.
"Gue akan lakuin apapun buat elo, tapi untuk ngepost foto ini gue beneran nggak bisa," katanya membalas. Dalam hati, ia benar-benar berharap bahwa kali ini ucapannya akan didengar.
"Demi Tuhan, gue nggak bisa kalau harus nyakitin Arka lagi. Gue udah merasa bersalah setelah ngebuat dia dibenci seluruh Gemintang. Gue nggak bisa. Gue nggak bisa kalau harus fitnah dia dengan foto ciuman ini ... " jelas si hoodie merah ketika sadar lawan bicarannya itu membalikkan badan. Dia dengan raut wajah frustasi berusaha menjabarkan kegundahan yang ia rasakan.
"Tapi lo cuma punya dua pilihan, post foto itu sekarang atau besok pagi lo sambut mayat ibu lo di depan rumah," kata si angkuh sembari melipat tangan di dada. Dia berujar datar tak peduli dengan raut wajah sengsara si hoodie merah di ujung sana.
"Lo bisa minta apapun, tapi please, jangan dengan ngepost foto ini. Gue nggak bisa—"
Si angkuh berdecak. Kesal karena keinginannya tak kunjung diiyakan. "Oke, gue anggap lo milih nunggu mayat—"
"Gue bakal post foto Arka. Gue akan turutin keinginan lo!" Adalah keputusan akhir yang diucapkan sosok berhodie merah itu dalam satu tarikan nafas. Meski dalam hati ia merutuk dan memaki, dirinya tetap berakhir dengan mengiyakan apa yang dia inginkan. Dirinya akan selalu kalah jika dihadapkan dengan pilihan itu. Dirinya lemah jika menyangkut sang Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shouldn't Be
Teen Fiction"Hadirmu bukan sebagai obat, melainkan cacat yang membuatku sekarat." *** Arkananta Abraham nampaknya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan lika-liku dunia. Hidupnya yang serba mujur dan teratur membuat ia lupa bahwa segalanya bisa hancur lebur. A...