Ego yang terlalu tinggi membuat seseorang tak mau menyalahkan diri sendiri.
—Shouldn't Be***
Cia melangkahkan kaki untuk memasuki ruang kelas. Gadis itu kemudian meletakkan tas punggungnya di atas meja tempat ia duduk. Kedua netra gadis itu juga secara otomatis mengedar ke seluruh penjuru ruangan untuk melihat keadaan. Cia lantas menghela nafas saat tidak menemukan apa yang sedang dicarinya.
Cia lalu bergerak untuk mendudukkan tubuhnya di kursi. Ia dengan malas menopangkan dagu di atas meja dan menatap kosong ke arah papan tulis. Cia mendadak tidak mood melakukan apa pun. Kejadian beberapa saat yang lalu membuat semua pikirannya hanya tertuju pada satu nama, Arkananta.
Hatinya tidak bisa memungkiri bahwa sekarang rasa bersalah menyekat rongga dadanya. Ia seakan tidak bisa mengelak dari kenyataan, bahwa apa yang sedang tejadi merupakan sebuah kesalahan. Arkananta tidak seharusnya berada di sana. Dia tidak seharusnya mendapatkan hukuman untuk sesuatu yang tidak dia lakukan.
Cia sekarang sadar bahwa semua masalah yang terjadi murni karena kecerobohannya. Ia meninggalkan helm di rumah dan baru menyadari ketika sampai di gerbang sekolah. Tidak aneh rasanya jika Arka menegurnya, meminta dirinya masuk ke dalam dan mendapatkan hukuman.
Tetapi yang menjadi pertanyaan, kenapa dirinya malah menjebak Arka? Kenapa dirinya berani mengambil helm pemuda itu dan mengakui sebagai miliknya? Dirinya bahkan dengan tenang meninggalkan Arka di depan gerbang. Bersama kesalahan yang tidak diperbuat dan juga hukuman yang pasti telah menanti pemuda itu.
Sesaat Cia merasa begitu jahat, mengorbankan Arka demi menutupi kesalahannya. Ia selalu memikirkan image ketua bela diri tetapi melupakan posisi Arka sebagai calon ketua MPK. Dirinya secara egois tidak mau mendapatakan poin merah, tetapi justru membiarkan Arka menggantikan posisi itu untuk dirinya.
Cia menghela nafas berat saat semua pikiran itu semakin menyesakkan rongga dadanya. Rasa bersalah pada Arka menempati puncak tertinggi dalam hatinya saat ini. Cia berusaha mengenyahkan perasaan itu meski rasanya sulit sekali. Ia berusaha meyakini bahwa tidak ada yang perlu disesali. Semua sudah berlalu dan ia yakin selanjutnya akan baik-baik saja.
Hal paling penting yang perlu dirinya lakukan setelah ini adalah mengembalikan helm milik Arka. Mengucapkan terima kasih dan juga permintaan maaf padanya. Setelah itu semuanya selesai, tidak akan ada masalah lagi dan semua akan kembali seperti sedia kala. Cia hanya perlu melakukan hal itu untuk menebus kesalahannya.
Ya, hanya itu.
"Kapan lo datang?"
Suara familier yang menyapa indra pendengarannya membuat Cia tersentak. Gadis itu secara otomatis menggulirkan netra dan mendapati Tere duduk di belakangnya. Biang onar SMA Gemintang yang berstatus sebagai sahabatnya itu sedang duduk di sana. Dengan muka bantal dan seragam yang acak-acakan.
"Sejak kapan lo di situ?" Cia balik melempar pertanyaan pada Tere. Lipatan tipis terbentuk di dahi gadis itu saat memikirkan bagaimana Tere tiba-tiba ada di sana.
"Gue dari tadi di sini, bego!" Tere berkata dengan nada suaranya yang khas. Tinggi dan terkesan membentak. "Mata lo aja yang buta sampai nggak ngelihat gue," tambah gadis itu sebelum bergerak maju untuk bergabung bersama Cia.
Cia yang mendapat jawaban itu hanya berdecak. Ia sudah terbiasa memakan omongan kasar Tere seperti yang dia dengar barusan. Cia hanya tidak habis pikir bagaimana bisa dirinya tidak melihat Tere di sana. Padahal saat masuk ke dalam kelas, ia yakin sudah menjelajah ruangan itu untuk mencari sang sahabat.
"Areta ke mana?" Cia bertanya saat menyadari bahwa Tere mulai memejamkan mata lagi. Ia menanyakan keberadaan sahabatnya yang lain karena kali ini dia yakin tidak ada Areta di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shouldn't Be
Ficção Adolescente"Hadirmu bukan sebagai obat, melainkan cacat yang membuatku sekarat." *** Arkananta Abraham nampaknya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan lika-liku dunia. Hidupnya yang serba mujur dan teratur membuat ia lupa bahwa segalanya bisa hancur lebur. A...