KEPERGIAN

23 7 5
                                    

Malam panjang karena tidak kunjung tenang. Rintik hujan di luar tiada terkira, bersaing hebat di telinga dengan lagu lawas dari band Maroon 5. Angin sejuk, membuat diri sendiri memeluk. Belum tengah malam, masih ada belasan menit sebelum ketiga jarum jam menunjuk angka 12 tepat.

Adalah Adit, yang kini duduk terpaku pada layar komputernya. Termenung tepatnya, karena ia tidak tahu dengan cara apa harus mengungkapkan gelora yang berkecamuk di dalam dada. Di layar, terdapat ratusan nama dan namanya terlampir di peringkat ke-32. Nama-nama tersebut adalah daftar siswa yang diterima untuk melanjutkan pendidikan ekonominya di Universitas Manchester. Ia harus berterima kasih pada guru Ekonominya di SMA yang telah mendaftarkannya di sana. Mimpinya selama ini menjadinya nyata yakni tinggal di Manchester, kota di Inggris yang terkenal dengan pelabuhan dan klub sepak bolanya itu. Ia bisa membayangkan tempat-tempat yang selama ini ia lihat di film Manchester by The Sea dan stadion Old Trafford kebanggaan Manchester United, klub favoritnya.

Namun, sebuah nama membayang di pelupuk matanya. Lalu mengimpit dan membuat dadanya sesak.

**

“Lo kenapa?” tanya si perempuan, yang mengesap secangkir cappuccino pesannya perlahan. Namanya Dinda, teman dekat Adit di SMA selama ini.

Adit mengangkat bahunya, “Enggak ada apa-apa, kok.”

Sorot mata Dinda menghamparkan sebongkah risau yang tak pernah siap Adit terima. Sedang dalam senyumnya tersimpan selengkung sabit yang begitu indah dan bersinar terangnya, dan Adit tak pernah sanggup untuk merengkuhnya dan menyimpannya dalam saku andai-andai ia rindu. Dinda tak pernah menjadi sekedar teman bagi Adit, tapi telah menjadi seperempat dari hidupnya. Setelah setengahnya diisi oleh Tuhan, dan seperempat lainnya diisi oleh orangtuanya.

“Lo gak bisa bohong, Dit,” sangkal Dinda tajam, seolah tahu isi pemikiran acak otak cerdas Adit. Ia tahu, sebab ia terlampau lama untuk tidak tahu. Dinda sudah mengenal hidup Adit yang terlampau klise, dari matahari membangunkannya hingga bintang meninabobokan di malamnya.

Mau jawab apa? Sekak mat, mati, tersudut. Otak pintarnya dalam menghitung perekonomian negara tidak akan mampu memahami konsep pemikiran wanita. Toh, gadis itu punya jalur pemikiran berliku-liku, namun memiliki satu tuju yakni masa depan yang tidak keliru. Tapi salah siapa pemikiran pria tidak memahami wanita? Apakah salah moyang manusia atau salah kakeknya yang sering gonta-ganti istri hingga mati terjadi perebutan harta warisan? Entah, yang pasti ia harus keluar dari skenario Tuhan yang satu ini.

“Ini, Microsoft Word gue kagak respons,” tipu Adit dengan sebuah kebetulan, aplikasi untuk menulis itu tidak bisa dijelaskan.

Dinda hanya mengiyakan. Mengesap lagi cappuccino itu, berharap perasannya yang pahit di lidah mampu terseret minuman itu hingga ke lambung, terserap di usus, hingga yang buruknya dibuang melalui urine. Semoga begitu.

**

Adalah Dinda, yang kini termangu menatap layar ponselnya. Seharusnya ia senang, seharusnya ia bangga. Tapi ia tidak bisa. Hatinya terlanjur beku untuk mengendalikan otaknya agar bahagia. Ada dua rasa yang bercampur aduk dan berkecamuk. Tapi, otaknya tidak mampu berpikir jernih, mungkin untuk sekarang.

Yang dilihatnya di layar ponsel adalah nama Adit sebagai salah satu siswa yang diterima di Universitas Manchester. Seharusnya ia senang. Sebab temannya yang dulunya begitu pemalas itu kini diterima di universitas ternama karena otak cemerlangnya. Dinda menganggap perjuangannya membangkitkan gelora di dalam hidup Adit tidaklah sia-sia. Di sisi lain ada sesuatu di hatinya, muncul dari ide konyol terkecil yang dia kubur dalam-dalam di lubuknya, bahwa ia menyukai Adit. Ia menampiknya, walau bukti perlahan mencuat bagai sebutir bibit yang tumbuh karena sinerginya yang kuat. Ia khawatir, andai Adit pergi makanya dirinya mungkin hanya tersisa nama, atau mungkin bahkan tiada tersisa.

JEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang