Kekuatan Do'a

19 3 0
                                    

Kekuatan Do'a
oleh: Nao_Alle

Aku mengenalnya dari media sosial WhatsApp. Namanya Yogi, pria yang aku cintai. Dan namaku Icha, panggil saja begitu. Umur kita berbeda sekitar 5 atau 6 tahun, dia tinggal sementara di Jakarta indekos sendiri. Dan aku? Aku tinggal di Depok bersama mamah dan adikku. Aku ingin bercerita tentang banyaknya rintangan yang kita hadapi. Hingga semua berakhir setelah pernikahan kita bulan lalu.

**

Saat itu, saat masa-masa pilu namun aku masih tabah menghadapinya. Bermula ketika yogi memasukan cincin perak ke jari manisku.

"Ini tanda keseriusan aku sama kamu, aku mau serius sama kamu Cha." Ia memasukkan cincin perak tersebut ke dalam jemariku, tapi memang harganya tidak seberapa. Tak apa, aku tetap menyukainya.

Berbulan-bulan kita lewati bersama, hingga waktu itu tiba. Waktu di mana kita hampir putus asa dan menyerah pada keadaan.

"TIDAK! MAMAH TIDAK SETUJU!" Tante Ajeng berdiri dan berkecak pinggang. Menatap lekat diriku dari bawah hingga atas seolah-olah aku hina. "Yogi! Masih banyak wanita di luar sana! Kenapa kamu malah memilih dia? Yogi, mamah tidak setuju kamu pindah agama." Mata Tante Ajeng menatap tajam ke arah putra pertamanya itu, lalu berbalik ke arahku. Memberi tatapan mata seakan-akan aku ini menjijikan.

Sementara itu Om Bima, diam saja menatap Yogi anaknya. Suasana menjadi canggung, aku ingin sekali menghentikan waktu, lalu berlari pulang menuju rumah.

"Tante, om. Saya tidak mau Yogi menjadi anak durhaka. Apalagi sama tante yang adalah ibunya. Dan saya tahu ini keputusan yang berat, sangat berat. Ditambah, Yogi juga anak pertama, kakaknya Mitha dan Niko. Saya tidak mau, hanya gara-gara saya, keluarga tante dan om jadi berpecah. Saya, memilih untuk mundur."

Seperti kaca yang pecah berhamburan, dadaku sesak. Namun aku harus tegar dan menahan air mata, yang ingin sekali tumpah ruah ke pipi. Aku menatap ke wajah kekasihku itu, wajahnya lesuh dan matanya sembab. Aku tak kuasa melihat kesedihan di wajahnya, ingin sekali kupeluk dan biarkan dia menangis di bahuku

"Yogi," kataku kuat sambil tersenyum. Tak ada satupun air mata yang menetes di pipiku.
"Kita tidak bisa memaksakan kehendak. Apapun yang terjadi, ini semua sudah takdir. Jika Tuhan rela menyatukan kita. Kita akan di persatukan. Berserah diri, pasrah, dan ikhlas. Aku gak mau kamu jadi anak durhaka karena aku. Kami harus patuh dengan orang tua kamu. Maaf, mungkin memang aku bukan yang terbaik untuk kamu. Tapi, aku tetap menyayangi kamu."

Semakin sakit di dada, aku ingin sekali menjambak hijabku.

"Ya Allah!!! Ya Rab!!!" Aku menangis di bawah hujan.

Aku melepas cincin pemberian Yogi. Lalu menaruhnya di tangannya, sembari berkata, "Aku sayang kamu." Lalu menetes satu air mata di pipi kiriku. Kembali menghadap orang tua Yogi. Dan aku pamit untuk pulang.

Yogi sempat memaksa untuk mengantarku pulang, tapi aku menolaknya. Jarak rumah orang tua Yogi dan rumahku jauh. Antara Bekasi dan Depok. Aku keluar dari rumahnya, dan pamit.

Berjalan setengah sempoyong, menahan sesak yang amat kuat. Menahan air mata yang ingin tumpah ke pipi, aku tidak ingin menangis di jalanan. Karena ini bukan cerita sinetron atau ftv.

Hingga jalan besar, aku berjalan menuju stasiun terdekat. Saat duduk di kereta, waktu itu pukul 7 malam. Kereta lumayan sepi. Aku menangis sambil menundukan wajah, untung saja aku sempat membeli masker di stasiun tadi.

Sampai stasiun Depok, kurang lebih jam 11 malam. Aku memesan ojek online agar lebih cepat sampai. Saat ingin memesan, aku melihat banyak pesan masuk dari Yogi. Ternyata, dia mengejarku hingga stasiun. Namun karena aku berjalan terburu-buru, jadi dia tidak sampai menemuiku. Banyak SMS dan telfon masuk darinya, "Ah, sudahlah. Aku balas besok saja," gumamku.

JEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang