NARUTO IMAJINER

15 2 0
                                    

Pertanyaan pertama: “Mengapa Naruto memiliki jutsu Rasenggan yang berelemen angin??” Jawabnya: “Kalau elemen api atau bumi, Jutsu tersebut terlalu sulit buat Dia!”.
Pertanyaan kedua: “Apakah ada persamaan antara Naruto dan tokoh-tokoh elit politik kita?” Jawabnya: “Ada!” Naruto adalah tokoh Imajiner sedangkan tokoh-tokoh kita meskipun mereka itu nyata tapi terpilih menjadi tokoh karena adanya pemilu yang imajiner”.
Pemilu Imajiner!? Iya betul, pemilu yg lalu itu masih sama dengan pemilu pada masa Orba, kendati harus diakui sudah agak jujur tapi jauh dari adil. Dulu, orang mencoblos partai A, yang keluar jadi wakil adalah si A. Sekarang masih sama saja, rakyat disuruh mencoblos tanda gambar,yang jadi wakil,tidak mewakili rakyat tapi mewakili partai. Sekalipun mereka benar mewakili partai tapi partai pun sesungguhnya belum berarti banyak dalam pandangan rakyat pemilihnya. Kebijakan depolitisasi dan floating mass Orba yang belum habis terkikis, membuat rakyat kita cenderung menganggap pemilu itu bukan wujud pelaksanaan demokrasi, tapi lebih memperlakukan pemilu sebagai ritual lima tahunan, seperti hajatan atau pesta, dimana partai sbgai ruang pesta, ketua partai adalah direktur hajatan tadi.
Saya sitir pernyataan Richard Robinson & Verdi R.Hadiz dalam Reorganizing Power in Indonesian: the Politics of Oligarchy in an Age of Markets (Routledge, 2004) yang menilai bahwa bukan demokrasi yang kemudian berkembang, tetapi dalam tanda kutif adalah sesuatu yang lain.
Pergerakan Kebangsaan secara tegas mengatakan bahwa bukan demokrasi yang berkembang saat ini, tetapi adlah poliarki-elektroalisme. Suatu dempkrasi yg dikendalikan oleh elit dan mendapatkan legitimasinya semata melalui pemilu. Jadi pemilu ada karena dirinya sendiri dan bukan sebagai kanal, dimana keputusan keputusan rakyat mengalir.
Bennedict Anderson, Indonesianis Amerika, bahkan berani menyebutkan bahwa nation state sperti Indonesia ini sebagai semcam imagined community alias komunitas imajiner. Pernyataan itu bukan didasari oleh semngat anasionalis , tapi lebih didasari oleh otentisitas budaya.
“Mungkin ada yg bertanya atau ingin berkomentar, silahkan di tahan dlu!?” jawabannya: cukup sederhana, “Bangsa Indonesia” adalah sebuah konsep dan komitmen politik yang lahir belum begitu lama bahkan belum cukup satu abad, jika dibandingkan dengan usia keberadaan masyarakat-msyarajat lokal yang tersebar di geografis “bangsa Indonesia” tadi. Jauh-jauh sebelum lahirnya “Bangsa Indonesia” beragam msyarakat lokal dengan kebudayaan yang otentik telah lama hidup di kawasan Nusantara. Selama ribuan tahun sebelum “Nation State Indonesia” lahir, masyarakat lokal ini dengan ikatan-ikatan tertentu, memilih dan mengolah makna-makna dunianya (kosmologi) secara mandiri. Meraka merdeka dalam menafsirkan norma, moral dan nilai-nilai apa yang baik dan buruk, salah atau benar, indah atau jelek, bahagia atau bencana. Mereka memaknai dunianya bukan atas dasar teori rekayasa, dari pusat, tapi berdasarkan pengalaman empiric milik mereka sendiri. Dengan cara inilah msyarakat lokal hidup bersosialisasi dan tumbuh berkembang. Inilah yang kemudian disebut kelompok masyarakat dengan komitmen ikatan rasio-emosi, sehingga melahirkan komunitas otentik.
Masyarakat Sulawesi adalah masyarakat otentik. Masyarakat ambon adalah komunitas otentik. Masyarakat papua adalah komunitas otentik. Juga masyarakat Sunda,Banten, jawa, Batak. Tapi pada satu saat terntentu, komunitas-komunitas otentik ini membuat komitmen politik untuk melebur menjadi satu komunitas besar yang bernama komunitas Indonesia. Yang awalnya didasari toleransi-toleransi antar komuniztas tadi.
Lunturnya toleransi-toleransi inilah yang menjadi pemicu Komunitas besar Indonesia, bergeser dari tujuannya dari komunitas otentik yang besar menjadi komunitas imajiner. Contohnya bagaimana mungkin pelajaran Bahasa Indonesia selalu diawali “INI BUDI, INI TUTI???” sedangkan di Ambon dan Papua tidak ada yang bernama Budi atau Tuti. Dan masih banyak lagi bentuk toleransi yang lebih substansial, baik lewat system pendidikan,system politik, bahkan system nilai bermasyarakat , sehingga ikatan pun menjadi kendur. Meminjam istilah Ariel Heryanto, bahwa sosio-budaya lokal adalah semacam daya hidup yang dinamis, terbuka dan akan terganggu bila diikat oleh ruang-ruang politik yang cenderung  bersifat rekayasa. Sosio-budaya lokal tidak bisa dipaksa tunduk sekalipun dengan bedil ataupun meriam untuk bisa di kooptasi oleh kekuasaan atau kepentingan politik tertentu. Untuk lebih afdol, saya sitir pernyataan Austin Renney (1987) bhawa Negara atau lembaga politik adalah semacam “Mirror Effect” bagi masyarakat dan kondisi kebudayaannya. Bagaimana bentuk masyarakat dan kebudayaannya, semestinya seperti itu juga bentuk negaranya. Negara menjadi cerminan kebudayaan msyarakat dan sebaliknya.
Berkaca pada kehidupan social-budaya lokal Indonesia hari ini, bahwa pemerintah dan negara Indonesia mulai kehilangan legitimasinya dihadapan sosio-budaya lokal yang jumlahnya sangat beragam itu. Persoalan ini sangat menguatkan dugaan bahwa benar-benar Komunitas Indonesia ini akan segera (atau sudah) menjadi komunitas imajiner yang sekadar bendera Merah-Putih belaka.

Tulisku: A.Rahman ahmad.

Lintasan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang