34. LAMARAN

1.3K 143 22
                                        

Meski terlihat masih sesekali ngobrol dan tersenyum, sejatinya semua orang di ruang tamu itu tak bisa menutupi ketegangan di wajah masing-masing dibalik senyum yang mereka paksakan.

“Ayo silakan Mas Wira, Jeng Anis… Ayo Mon!” Tante Diana, mamanya Raya kembali untuk kesekian kalinya mempersilahkan tamunya mencicipi kue yang terhidang di meja. Sekedar mengusik sepi yang mendadak hinggap. Terlalu letih mengobrol atau mungkin kehabisan ide perbincangan.

Diantara mereka tentu Mondy yang paling was-was, apalagi melihat Abah yang mendadak bangkit dari tempat duduknya dan permisi ke belakang.
Mondy tahu Abah marah.  Tapi apa yang bisa dia lakukan.

"Ni anak selalu berbuat semaunya. Memalukan saja. Kayak gak pernah di didik bapaknya!" geram Abah dalam hati.

DYAR....DER DYAR..
Suara petir berkali-kali menyambar rumah itu. 

Mama Anis kelihatan mulai lelah. Ia bahkan telah beberapa kali mengisyaratkan suaminya untuk pamit, enggan menunggu tanpa kejelasan.
"Iya sebentar mah." bisik Wira padanya yang melirik Mondy. Mondy menatap mereka syarat permohonan untuk bersabar lebih lama lagi.

 
DYAR....DYAR  DYAR..
Suara petir menyambar dan kilat mencoba menerobos masuk melalui pintu yang sengaja masih terbuka lebar membuat Dani berdiri dan menutup pintu. Apalagi angin pun mulai tak sopan menerobos masuk dengan kencangnya.

"As..,salam...mualaikum.." Suara pelan dan bergetar dari arah pintu yang hampir ditutup Dani. Dani melotot kaget.
 
Semua menoleh ke sumber suara.
"RAYA!" pekik mereka semua hampir bersamaan dan refleks semua berdiri.
Mondy pun memekik  dengan panggilan yang berbeda. "SAY..." Pekik Mondy tertahan.
"KAM- ... KAMU...." Mondy langsung  melangkahkan kaki ke pintu berdiri di smaping Dani, tepat di depan Raya. Hampir saja ia berhambur memeluk gadisnya, Kalo tidak  ada Dani di dekatnya dan pandangannya sempat menangkap pelototan  Abah  yang sudah kembali.
Semua tampak kaget dan bingung memperhatikan Raya dari ujung ke ujung. 
Bagaimana tidak,  ditengah bunyi guntur yang memekakkan dan kilat menyambar,  Raya berdiri diambang pintu dengan amat mengenaskan.
 
Tubuhnya telah basah kuyup hingga lantai basah oleh tetesan air dari tubuh dan bajunya. Kedua tangannya terlipat di dada menahan dingin.

Bukannya dingin lagi, ia bahkan menggigil. Bibirnya bergetar.
 
Mondy tak tega dan refleks mengulurkan tangannya membawa Raya masuk ke dalam, sementara Dani langsung menutup pintu.

Tante Diana yang paham situasi  segera mendekati putrinya, merangkul dan menariknya ke dalam.
"Maaf...." lirih Raya sebelum masuk.

Mama Diana  segera membimbing Raya ke belakang, membantunya membersihkan diri. Tari dan Feby, sepupunya yang sedari tadi membantu memasak  dirumahnya segera  mendandani Raya.
 
Kebetulan Tari memiliki usaha salon kecantikan, jadi ia bisa dengan cepat merias Raya sehingga siap bertemu dengan Mondy dan keluarganya.
Raya yang tak terbiasa bersolek hanya pasrah. Apalagi mereka semua sudah sekian jam menunggunya.

Semua lega, setidaknya Raya telah datang. Suasana di ruang tamu pun kembali mencair. Om WIra dan Abah kembali mengocol. Hanya Mondy  masih belum tenang. 

Ia selalu celingukan menatap ke arah dalam hingga mendapat protes Dani. "Woy! Ngapain celingukan? Belum muhrim Mon! Jaga pandangan woy!" bentak Dani.

Mondy tertunduk malu dan hanya garuk-garuk kepala.
"Biar berapa jam pun kamu dandan ... Aku akan menunggu kamu Ray." Gumam Mondy. 
Sialnya gumaman itu terdengar Dani dan Anis disebelahnya. Kontan mereka kompak. "Cie.... Cie....  "
“Yang setia menunggu,” cibir Dani.

Tak sampai setengah jam Raya keluar dengan dandanan simpel, wajah lelah dan pucatnya tertutup oleh polesan make up Tari.
 
Raya mengenakan gamis putih dengan pernik renda dan payet gold karena hanya itu baju feminin yang ada di lemarinya.
 
Tari membiarkan saja rambut raya yang belum kering sempurna tergerai dengan sedikit aksen ikal di bagian bawah, membuatnya terkesan feminism dan lebih dewasa.

JANGAN SALAHKAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang