12. PUTUS (2)

1.1K 144 17
                                    


Raya terlalu mudah percaya omongan Melly? Mungkin. Tapi bagaimana dengan penjelasan Iyan saat Reva mengkonfirmasi? Jelas-jelas Iyan bukan tukang gossip dan Iyan membenarkan ucapan Melly.

“Gak tahu juga sih Rev. Tapi yang pasti ia lagi break sama Raya. Itu cukup menjadi alasan kenapa akhir-akhir ini mereka tak pernah nampak bersama. Mereka tak pernah lagi berangkat dan pulang kuliah bersama kan? Bahkan saat seminar pun Mondy sendirian, tanpa Raya.” Jelas Iyan.

“Kalo masalahnya apa Gue gak berani nanya sama Mondy. Mondy bilang sih ingin konsentrasi skripsi. Tapi Gue rasa bukan hanya itu. Lo tanya langsung aja deh sama mereka. Lo atu kos sama Raya kan? Lo tanya aja dia? Gue mah ogah ngurusin hidup orang. Ogah kepo!” lanjut Iyan.

Ragu, Reva pun akhirnya memberanikan diri bertanya pada Raya. Dan Raya hanya diam, tapi terlihat kesedihan dimatanya meski memaksa bibir tersenyum.

Lalu apa masih mau kepo pada  kehidupan orang? Biarlah itu jadi urusan mereka berdua, Raya dan Mondy. Toh mereka berdua yang menjalani.

****

Raya membutuhkan tempat untuk berbagi. Meski waktu akan menepis segala masalahnya, meski orang lama-lama akan terbisasa dan melupakannya, Raya tak bisa membisarkan masalah itu meggunung di kepalanya.
Posisinya serba salah dan serba tak menentu. Ia tak bisa menghubungi Mondy lagi. Ia tak mau mengalah lagi dan mengorbankan harga dirinya. Ia terlalu sakit hati, Mondy memutuskannya tanpa sebab, bahkan harus ia dengar dari mulut orang lain.

Bagi Raya masalah ini tak bisa selesai hanya dengan sebuah pesan singkat, BBM, WA, SMS atau hanya dengan menelponnya. Mereka harus bertemu 4 mata dan membicarakan semuanya.

Tapi bagaimana mungkin jika tak ada seorang pun dari keduanya yang memulai?

Haruskah Raya yang menemuinya lebih dahulu?

Bukankah yang mengatakan putus Mondy jadi kenapa harus dia yang menumui Mondy? Harusnya Mondy dong yang dengan gentle datang padanya?

“Gak papa Ray? Klarifikasi aja, bisar jelas,” bisik batinnya.
“Nggak Ah! Gue ngemis-ngemis ke dia? Sory ya?” protes sisi lain batinnya.

“Mondy…..” Raya mengesah. “Kamu kenapa gak hubungi aku sih? Apa kamu sebegitu marahnya? Sebegitu bencinya sama aku?  Kamu Jahat!”

“Aku nggak mau putus sama kamu……...” Lirih Raya tanpa ia sadari yang diikuti tetesan air dari pelupuk matanya yang makin lama makin deras. Padahal ia kini  sedang mengendarai motor dijalan pulang dari kampus.

Dadanya makin sesak menahan isakan tangisnya yang terus saja mengucur dipipinya. Ia bahkan lelah menyeka dengan tangan kirinya berulang-ulang. Matanya bahkan sudah mulai sembab.

Ia sudah menyerah, sudah mengalah. Sedari pagi tadi Ia sudah rela datang ke kampus hanya demi menemui Mondy. Tak perduli mata-mata aneh yang menatapnya, tak perduli pertanyaan-pertanyaan teman-temannya yang seolah membutuhkan klarifikasi darinya.

Ia masih menjawab dengan senyum semua tudingan dan pertanyaan yang ditujukan padanya. Sampi tadi pagi Ia  masih bisa mengesampingkan kegaulauan hatinya dan berusaha nampak tegar.

Hari ini adalah hari terakhir pendaftaran ujian skripsi, dan Mondy seharusanya datang karena ia belum terdaftar.

Raya sendiri yang menanyakan ke petugas administrasi di ruang tata usaha.

“Belum ada nama Mas Mondy tu Mbak.” Kata Mbak Yaya, pegawai administrasi yang mirip Raisa, idola para mahasiswa.
Raya dan MOndy kenal baik dengannya karena pernah beberapa kali terlibat acara kampus yang juga melibatkan PRO FM.
“Kalo sudah pasti berkasnya ada, dan pasti lewat saya.” Tambah Mbak Yaya.
“Apa mbak Raya yang diminta tolong untuk mendaftarkan? Berkasnya di bawa mbak? Cie…cie… Mas Mondy sok ye banget,  daftar ujian aja diwakili pacar?”
Raya hanya tersenyum kecut tak tahu harus bicara apa?
Kalo Mbak Yaya mendengar kabar dia suduh putus dengan Mondy pasti tak akan berkata seperti itu.

JANGAN SALAHKAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang