10.Amarah

57 8 0
                                    

Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri hendaknya ia duduk. Jika dengan itu kemarahan menjadi hilang (itulah yang diharapkan). Jika masih belum hilang, hendaknya berbaring
(H.R Abu Dawud)
___________________________________________

          
Lania berjalan menuju pintu depan kemudian membukanya dikarenakan seseorang dari luar sana mengetuk-ngetuk benda yang terbuat dari kayu itu sedari lima menit yang lalu. Wajah Lania yang semula kusut bagai pakaian belum disetrika, berubah sumringah ketika melihat sesosok wanita dengan baju serba panjang berwarna toska.

"Aisyaahh, udah lama gak ketemu," ucap Lania sembari memeluk kemudian melakukan cupika-cupiki.

Aisyah memang sudah cukup lama kembali ke perumahan ini, tapi ia terlalu sibuk untuk mengurus anak dan suaminya. Jadilah baru saat ini ia sempat berkunjung ke rumah sahabat lamanya.

Mereka berdua duduk di sofa ruang tamu, membicarakan berbagai hal tentang keluarga atau sebagainya. Mata Lania berubah heran ketika kedua manik hitamnya menangkap sebuah kotak makan siang berukuran sedang.

"Itu apa Syah?," tanyanya dengan mata yang masih terpaku dengan kotak makan imut itu.

Aisyah sempat keheranan sebelum akhirnya ia menyadari barang bawaannyalah yang dimaksud oleh Lania sahabatnya.

"Ahh ini.., ada sedikit opor ayam buat Rania sama kamu Lan, aku buat yang spesial loh, apalagi Ilham antusias banget waktu bantu masak," jawab Aisyah dengan mimik wajah lembut seperti biasanya.

"Makasih banget ya Syah, kamu ada acara apa sampe buat opor segala?," kotak makan itu kini berpindah ke tangan Lania.

"Gak ada acara apa-apa kok, cuma kebetulan pengen buat aja, Rania juga suka banget kan sama opor ayam?!."

Ehh!

Selama enam belas tahun hidup bersama putrinya, Lania tak pernah tau kalau makanan kesukaannya adalah opor ayam, yang ia tau Rania suka segalanya tentang coklat tapi tidak dengan rempah semacam bumbu-bumbu dalam opor ayam. Bukannya bagaimana, tapi hati Lania serasa mendapat goresan tipis ketika mengetahui hal menyangkut putrinya dari seseorang yang sama sekali tak punya hubungan darah dengan mereka.

Mungkinkah waktu yang ia luangkan terlalu sedikit untuk memahami Rania ? ditambah sikap Rania yang semakin lama semakin mendingin layaknya putri es, apakah semua itu karenanya?. Ahh sudahlah.

"Assalamualaikum," ucap sesorang sebelum memasuki ruangan.

Orang yang sedari tadi kedua ibu rumah tangga ini bicarakan kini telah muncul, kalau kata orang ini namanya 'panjang umur.' Rania tersenyum tipis tapi begitu manis ketika manik matanya bertemu dengan milik Aisyah. Senyumnya lantas pudar ketika pandangannya menuju bunda. Rania kemudian memasuki kamarnya tanpa mengucap sepatah katapun.

Sekali lagi Lania merasa hatinya tergores, lebih dalam dari sebelumnya.

Sebenarnya bunda Rania itu aku atau Aisyah?!

***

"Mau kemana lagi Ran?," Lania spontan bertanya ketika melihat anaknya sudah rapi dengan setelan baju monokrom dan sebuah tas selempang merah muda.

Rania tak menjawab apapun, ia mengunci mulutnya rapat, langkah kakinya ia percepat, seperti ingin menghindar. Baru ketika Lania menghadang nya,  Rania terpaksa berhenti tiba-tiba. Tak sedetikpun ia mencoba menatap bundanya, manik mata yang sehitam jelaga itu tertunduk kaku melihat lantai marmer di depannya.

"Ran, kamu mau pergi kemana lagi sih?."

Rania masih saja bergeming, ia tak menunjukkan sedikitpun tanda bahwa ia akan mengeluarkan suara.

"Mau kemana Ran?," suara Lania mulai meninggi.

Untuk yang kesekian kalinya, pertanyaan bundanya hanya ia jawab dengan membisu, tanpa sepatah katapun yang keluar dari bibir tipisnya.

"Rann!!," teriak Lania lantang, sepertinya semua emosi yang coba ia tahan tak bisa lagi untuk diredam.

Lania menyentuh rahang anaknya, lantas mengangkatnya tinggi, membuat Rania yang semula terdiam kini mulai melawan.

"Tatap mata bunda! kalo ditanya, jawab! Rania kamu itu perempuan, tiap hari kamu pulang malam terus, bunda gak marahin kamu karna bunda pikir kamu akan sadar sendiri. Bukannya sadar, kamu malah tambah keterlaluan, diemin bunda, nganggap bunda gak ada. Selama ini kasih sayang bunda kamu anggap apa?."

Bulit air mata yang semula tertahan kini terjatuh bebas, Rania tak pernah menangis dihadapan siapapun, ia selalu ingin tampil ceria dan kuat walaupun sebenarnya ia adalah seorang perempuan yang benar-benar rapuh.

"Bunda bilang kalau bunda sayang sama Ran, bunda bilang kalo bunda peduli sama Ran, tapi Ran gak pernah tuh merasakan kasih sayang bunda," Rania mencoba lepas dari cengkraman kuat bundanya, sempat ia melirik, rahangnya sudah sangat merah dan berdenyut. "Bunda terlalu sibuk dikantor, sibuk ngurusin berkas-berkas  yang cuma benda mati, sementara bunda gak sadar kalau disini anaknya bener-bener gak terurus," air mata Rania terus dan terus jatuh tanpa bisa dihentikan. "Bunda selalu merasa bunda udah ngeluangin banyak waktu untuk Ran, tapi sebenarnya bunda gak pernah sedikitpun ada waktu untuk Ran, bunda itu gak peduli sama Ran!. Sekarang Ran mau pergi kemanapun itu terserah Ran, bunda gak usah tau!."

Rania berjalan cepat meninggalkan bundanya yang berdiri kaku layaknya patung. Ia menghapus semua bekasan air mata yang sekiranya masih bisa ia hilangkan. Ahh sungguh tak beruntung ia hari ini, didepannya tampak Ilham terpaku sama seperti bundanya, entah apa yang ia lihat, Rania tak tahu dan ia tak mau tahu.

Taksonomy|12|03|18

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Secercah Sinar HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang