CHAPTER 5

292 200 353
                                    

SELAMAT MEMBACA
SILAHKAN MENIKMATI KISAH KLASIK MEREKA.

Langit sore menemani mereka berdua yang sedang duduk di bangku taman kota dengan es krim yang berada di tangan Adheeva.

"Makasih ya Zaf buat es krimnya," kata Adheeva dengan memberikan senyum.

Zafran mengangguk, "gue boleh nanya ke lo gak?" Tanyanya dengan mimik muka yang serius.

Dahi Adheeva mengerut, "boleh kok. Emang mau nanya apa?" Tanya balik.

"Anak SMA Gelora Bangsa yang sering antar jemput lo. Itu pacar lo?" Ujar Zafran yang sempat bingung untuk memulainya.

Adheeva tertawa sekilas. "Baron? Aduh Zaf, ya kali gue pacaran sama temen gue sendiri. Gue kenal sama dia udah lama. Iya sih kebanyakan orang juga bilang gitu, padahal gak sama sekali."

"Oh syukur. Gue kirain itu pacar lo," ujar Zafran yang merasa lega.

"Gak kok, kenapa emang Zaf?" Adheeva merasa ada sesuatu yang akan menimpanya.

"Gue suka sama lo Va."

"Ha?" Respon yang pertama kali diucapkan oleh Adheeva. Otaknya seakan mati mendengar pernyataan tiba-tiba dari Zafran yang sedang menatapnya dalam.

"Gue gak maksa lo buat balas perasaan gue Va, dengan deket sama lo aja udah buat gue seneng." Ucap Zafran terus terang.

Ucapan Silvi benar. Adheeva masih mematung. Memikirkan semuanya.

"Gue bingung Zaf," sahut Adheeva yang ditanggapi oleh Zafran dengan usapan lembut di kedua tangannya.

"Gue ngerti Va. Gue anterin pulang ya? Keburu malem," ajak Zafran sambil berdiri terlebih dahulu.

Adheeva masih tertegun di tempat. Sebelum ia menetralkan hatinya yang sempat merasa syok.

🔹🔹🔹


Baron sedang menatap layar ponselnya. Satu notifikasi yang ia terima setengah jam yang lalu.

"Tumben ini Adheeva jalan sama orang," gumamnya lirih yang sedang menyeka keringatnya.

Ia meletakkan ponselnya kembali di atas tasnya yang tergeletak di bangku dekat dengan lapangan basket sekolahnya. Sekitar 15 menit ia bermain basket sendiri tanpa ada temannya. Temannya sudah terlebih dahulu pulang. Baron memantulkan bola basket yang memiliki berat sebesar kira-kira 600 hingga 650 gram. Pikirannya sedang tidak fokus sehingga bola yang ia pantulkan tidak mengenai ring.

Di lihatnya jam tangan yang berada di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan hampir pukul 5 sore. Butuh waktu sekitar 45 menit untuk Baron sampai di rumahnya.

"Kalau baru pulang jangan lupa salam dulu," peringatan itu terucap dari wanita yang berusia 40 tahunan. Sandra.

"Assalamualaikum," ucap Baron dengan lesua dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa yang tak jauh dari tv.

"Kok lesu gitu? Kamu kenapa?" Sandra khawatir akan kondisi anaknya.

Baron menggeleng pelan. "Baron mau ke kamar dulu mah," pamitnya.

"Eh, kamu gak mau makan dulu?" Tawar Sandra yang menghampiri anaknya.

"Nanti Baron keluar lagi buat makan."

Baron berlalu dan masuk ke kamarnya yang dominan berwarna biru gelap dan juga ada sentuhan warna hitam yang sedikit. Tubuhnya seakan lelah padahal ia juga tidak dihukum di sekolah. Entah mengapa Baron tampak seperti orang yang kebingungan.

Premier Amour Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang