CHAPTER 12

167 90 193
                                    

SELAMAT MEMBACA
SILAHKAN MENIKMATI KISAH KLASIK MEREKA.

"Terlalu banyak kisah yang terjadi pada kita. Hingga aku sadar. Bahwa kita hanyalah teman."

🔹🔹🔹

Sebentar lagi langit akan gelap. Semburat orange kemerah-merahan sudah tampak menimbulkan warna bias yang selaras dengan padatnya jalan. Adheeva menyesap teh hangat yang berada di genggaman tangannya. Ia berusaha untuk mengenyahkan segala pikiran buruknya. Tetapi otaknya seakan berkata lain. Segala pikiran membuat Adheeva merenung sesaat.

Drtt...

Ponsel berwarna silver yang Adheeva letakkan di atas meja sedang menerima panggilan.

Silvi.

Tanpa menunggu lama. Adheeva menerima panggilan tersebut. Digesernya layar handphone.

"Va? Lo di rumah kan?"

"Iya. Kenapa emang?" Adheeva mengerutkan dahinya.

"Pinjem catatan ekonomi lo, sekalian mau main ke rumah lo sih," sahut Silvi.

"Boleh, ya udah gue tungguin." Setelah itu Adheeva memutuskan panggilan dan menunggu Silvi datang ke rumahnya.

Tak berselang lama. Silvi dengan tampilan casual sedang melambaikan tangan ke arah Adheeva.

"Nunggu lama Va? Gak kan? Iya dong, gue kan cepet kalau dandan." Silvi tanpa permisi langsung duduk di samping Adheeva.

Adheeva memutar bola mata kesal. "Iya deh terserah lo."

"Va? Bukunya?" tanya Silvi yang tidak punya malu.

"Lo ambil sendiri di kamar gue lah, ya masa harus diambilin?" ujar Adheeva dengan sinis.

"Ya udah deh, beneran nih gak apa-apa?"

"Iya Sil, jangan banyak omong deh." Adheeva terlihat galak belakangan ini. Padahal ia tidak dalam masa kedatangan tamu bulanan. Tapi bawaannya ingin marah-marah.

Silvi pun beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil buku catatan ekonomi--untuk ulangan 2 hari lagi. Jangan ditanya, Adheeva selalu senang menyatat jika guru mereka harus mewajibkan mencatat. Lain lagi dengan Silvi, ia memilih untuk tidur dengan alibi buku paket yang dijadikan sebagai penutup.

Hanya butuh waktu 10 menit Silvi untuk menaiki anak tangga, membuka pintu, mencari buku catatan Adheeva yang bersampul awan-awan biru--dan harus menuruni anak tangga yang membuat lututnya merasa letih. Padahal biasanya juga di sekolah harus menuruni anak tangga yang jauh 3× lipat lebih banyak.

"Wajah lo kenapa sih, dari kemarin gue lihat cemberut terus." Silvi yang baru saja duduk kembali di samping Adheeva.

"Gue tuh bingung Sil," sahut Adheeva merasa lelah.

"Bingung kenapa? Cerita ke gue, siapa tau dapet pencerahan gitu." Silvi menepuk dadanya sombong.

"Dih, biasanya juga lo yang sering minta saran dari gue," balas Adheeva sengit.

Silvi menyengir tanpa dosa.

"Lo tau kan kalau Zafran lagi deket sama gue," Adheeva menatap sahabatnya. Dan dibalas anggukan kepala.

"Gue masih belum kasih kepastian ke dia Sil," rengek Adheeva.

"Kenapa? Lo gak ada perasaan suka ke Zafran? Atau gimana?" tanya Silvi yang antusias.

Adheeva menopang dagunya dengan raut wajah yang bingung. "Gue gak tau Sil."

"Gimana sih Va, kasian Zafrannya. Ntar ngiranya dia, lo udah nerima gitu." Silvi berargumen.

Premier Amour Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang