13. Lelah

102 27 4
                                    

Cloveria sering berpikir lama tentang hal-hal yang menurut orang lain terbilang cukup sederhana.

Tentang ingin makan apa hari ini, tentang bagaimana cara mengucapkan salam yang baik, atau tentang warna apa yang harus ia gunakan untuk mewarnai gambarnya.

Tapi, Clo justru jarang berpikir mengenai hal yang harusnya tergolong serius. Contohnya saja, dia tidak pernah berpikir ingin jadi apa, atau tentang rencana masa depannya.

Dan yang lebih penting lagi, Cloveria tidak pernah berpikir mengenai perasaannya setelah berpisah dengan Nate, dan hal itulah yang membuat gadis itu merasa tertusuk sekali di saat Dante menanyakan kejelasan perasaannya.

Sulit dijelaskan memang, tapi Clo yakin bahwa ia masih memiliki perasaan terhadap Nate. Yang tidak Clo tahu adalah, apakah itu perasaan cinta, sayang, rindu, atau justru kebencian yang mendalam.

Krekkk ...

Suara pintu kamar yang terbuka sontak membuat Clo menoleh ke belakang. Dilihatnya Hilma berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan terlipat bak seorang mandor. Clo jadi menyesal karena tidak mengunci pintu kamar sedari tadi.

"Ada apa?" Tanya Clo tanpa basa basi. Karena kedatangan Hilma pasti punya tujuan lain selain hanya bertegur sapa.

"Mmm ... Minggu depan Papa mau bikin pesta sama rekan bisnisnya di sini."

"Oh," jawab Clo singkat, karena hal itu memang sudah menjadi agenda rutin Dewa setiap tahunnya, "sudah, kan? Kalau sudah, silahkan ke luar."

"Oh ya, aku juga mau bilang kalau-"

Hilma sengaja memberi jeda dalam berbicara, dan biasanya hal itu dilakukan jika dia ingin mengibarkan bendera perang dengan Cloveria, ''aku sudah mengundang Nate, jadi kamu tidak perlu mengundangnya.''

"Ada lagi?"

Hilma hanya mengedikkan bahu, tanda sudah selesai bicara.

"Tahu bagaimana caranya menutup pintu, bukan?'' Ucap Cloveria seakan masa bodoh dengan ucapan Hilma.

Dengan senyuman sinis Hilma melangkah pergi meninggalkan kamar Cloveria. Setelah kepergian Hilma, Clo segera merebahkan tubuh agar bisa menutup mata walau sulit.

Pikiran gadis itu kembali melayang ke masa-masa dimana Clo pernah sangat mencintai Nate, dan Nate juga mencintainya.

"Benar kan, Ibu? Ibu sering bilang, kalau kita terlalu sering berandai-andai, maka kita bisa menjadi gila,'' Clo bergumam sembari menatap potret cantik ibunya di dalam bingkai, ''tapi, bukan berarti kita tidak boleh bermimpi, bukan? Karena mimpi dan angan-angan itu jauh berbeda.''

Tepat ketika Clo mengakhiri celotehannya sendiri, bunyi panggilan masuk membuatnya sedikit terkejut. Lebih kaget lagi ketika ia melihat nama yang tertera di dalamya.

Nate.

Kenapa Nate menghubunginya? Bukankah semua sudah jelas, jikalau Clo telah muak dengannya?

Apa Nate buta, atau mungkin dia memang manusia paling tidak peka di semesta ini.

Atau justru, Cloveria sendirilah yang memberikan harapan kepadanya?

Apapun itu yang ada di dalam pikiran Clovy, tapi yang pasti, langkah pertama yang diambilnya adalah mengangkat panggilan yang telah dia abaikan belasan kali tersebut.

"Ada apa?'' Tanya Clo terdengar malas.

"Halo Clo. Sedang apa?'' Terdengar suara bariton namun lembut dari Nate menanggapi. Suara itu juga yang sering Clo rindukan selama ini. Ya, dulu. Tapi bukan sekarang.

"Apa kamu sibuk, Clo?"

Mungkin ini hanya perasaannya saja, tapi Cloveria merasa suara itu bergetar entah karena apa.

My House, Not My HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang