Beberapa waktu telah berlalu semenjak Dewa menampar Cloveria di rumah mendiang istrinya.
Semenjak itu pula, Clo selalu berusaha untuk menghindari ayahnya.
Cloveria sebisa mungkin akan berangkat pagi buta dan pulang ketika ayahnya masih bekerja. Gadis itu lantas tidak pernah mau keluar kamar, sekali pun Ayahnya memanggil.
Namun sepertinya, ini adalah hari yang sial bagi Cloveria. Karena ketika dia pulang, Dewa telah menunggu dirinya di ruang keluarga.
Letak kamar Cloveria yang berada di lantai dua, membuat Clo mau tidak mau harus melewati ruang keluarga yang ada di tengah-tengah.
Gadis itu sudah akan mengabaikan Dewa, namun Dewa tidak membiarkan itu terjadi. Dia ingin menyudahi perang dingin di antara mereka berdua.
"Clo, Ayah ingin bicara."
"Tapi aku tidak."
"Cloveria!"
Padahal Dewa sudah memantapkan hati ingin berbicara dengan lembut kepada putrinya, tapi melihat sikap acuh tak acuh Clo, Dewa menjadi naik pitam seketika.
Pria itu lantas berdiri dari tempat duduknya dan segera mengikis jarak di antara dirinya dan Clo. Sedangkan Cloveria sendiri, terlihat berusaha tegar meskipun dia sedikit terintimidasi dengan aura Dewa.
Bagaimana pun juga, rasa tamparan Dewa masih begitu membekas di benak Cloveria.
"Mau sampai kapan kamu bersikap kurang ajar dengan Ayah, hah?"
"Loh, harusnya itu pertanyaan untuk Ayah, kan? Selama ini aku selalu bersikap baik, tapi Papanya saja yang tidak menghargaiku."
"Bersikap baik dari mananya jika kamu selalu mencari celah tentang ibumu!"
"IBUKU SUDAH MENINGGAL!"
"CLOVERIA!"
Cloveria tahu apa maksudnya. Tentu saja yang Dewa maksud adalah Nancy, ibu kandung Hilma, sekaligus ibu tiri Cloveria. Tapi bahkan sampai kiamat pun, Cloveria tidak akan mau mengakui wanita itu sebagai ibunya. Tidak selagi bumi belum hancur.
Mencoba menekan amarahnya, Dewa menghembuskan nafas panjang berkali-kali sambil memijat keningnya. Dia sudah kehabisan ide untuk bisa membujuk putrinya.
"Nancy itu istri sah Papa, Clo. Dia dan Hilma sekarang adalah bagian keluarga kita. Mau tidak mau, kamu harus menerima mereka sebagai keluarga." Terang Dewa dengan nada lembut. Berusaha untuk memenangkan hati putrinya yang terlanjur mengeras.
"Aku sudah sering sekali bilang, kan? Kalau sampai mati pun, aku tidak akan mau mengakui mereka sebagai keluarga! MEREKA ITU HANYA PARASIT!"
"CLOVY!"
Dewa kembali mengangkat tangannya. Dia terlihat seperti akan menampar Cloveria kembali, namun niat itu ciut setelah melihat bagaimana bola mata Cloveria membulat tanpa takut.
Itu ... Mata yang sama dengan yang dimiliki oleh mendiang istrinya. Dewa seperti melihat sosok itu dibalik wajah Cloveria yang terluka.
Mengabaikan kemarahan Ayahnya, Cloveria memilih untuk berlari pergi namun teriakan Dewa menghentikan segalanya.
"Jika kamu terus bersikap tidak sopan pada Ibumu dan saudarimu, Ayah akan menjual rumah ini, Clo!"
Cloveria percaya jika semua hal di dunia ini memiliki batasnya masing-masing. Termasuk dengan kesabaran miliknya.
Selama belasan tahun, Cloveria berusaha menahan diri untuk tidak menjadi anak durhaka. Dia sebisa mungkin tetap menghormati Dewa sekali pun hatinya mengutuk. Tapi itu semua berakhir di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
My House, Not My Home
General Fiction"Saat aku pergi ... bisakah kamu berjanji satu hal?" "Katakan." "Menangis, ya. Jangan memaksakan diri untuk tersenyum. Aku mohon ... menangislah." .,.,.,.,.,.,.,.,.,..,.,.,..,.,.,.,..,.,.,.,.,..,.,.,.,.,.... Cloveria Nahla Hanggio selalu diperlakuka...