[Tiga | Indira] Pengagum Yang Buta, Hatinya

189 42 11
                                    

[Tiga | Indira] 

Pengagum Yang Buta Hatinya

Mei, 2019

Harmoni masih melanjutkan rencana kami seperti biasanya. Bulan Maret yang lalu, kami resmi meliris album pertama. Hanya Arka yang mewakili kami saat berbicara untuk sebuah majalah musik tentang progress bermusik kami.

Rutinitas kami yang sempat sibuk paska perilisan album pertama perlahan kembali mereda. Manggung di beberapa acara kecil, tawaran gig, dan mengajar di sekolah musik.

Aku tengah bermain dengan tuts-tuts piano saat Arka masuk. Tumben, ia biasanya akan mengirim pesan, bertanya satu-dua hal, atau jika itu tak bisa dilakukan via pesan percakapan, ia akan meminta kami datang ke studionya, yang masih berada di gedung yang sama dengan Simfoni, berbicara empat mata. Kali ini, ia datang, tanpa bertanya kami di mana.

Tuts terakhir berhenti mengeluarkan suara saat aku berbalik menghadap Arka yang sudah menunggu. "Ada apa?"

"Nggak dilanjutin mainnya? Musiknya enak."

"Aku nggak bisa fokus kalau kamu di sini." Jawabku terus terang. "Kenapa?"

"Jangan sinis, gitu." katanya. "Kamu berbeda dari Indira yang aku kenal di 2016."

"Orang-orang pasti berubah, Ka." Bukan maksudku menjadi ketus pada Arka. Aku masih ingat baik bagaimana dia mengizinkanku tampil bersama Harmoni hari itu. Aku tahu usahanya mengajariku menciptakan sebuah lagu. Hanya saja, aku sedikit kesal kepada diriku sendiri karena masih saja menyukai untuk Arka. Padahal dia sebentar lagi menikah.

Jika menjadi dingin dan tak tersentuh adalah satu-satunya cara menghilangkan perasaan ini, maka aku akan melakukannya.

"Kalian mau nggak jadi wedding singer di acaraku nanti?"

"Cindy, Devan, dan Ilham jawab apa?"

"Devan dan Ilham menolak. Mereka nggak mau kerja padahal aku juga nggak bilang mereka kerja. Cuma jadi sukarela untuk meramaikan suasana aja." Jawabnya sambil mengatur rambut. "Cindy menyarankanku untuk menyusun playlist aja. Aku pikir dia benar tetapi rasanya kurang lengkap aja kalau bukan kalian yang tampil."

"Jadi ini semacam penentuan suara?"

"Kind of. Kalau vokalisnya bersedia tampil, Devan dan Ilham harus ikut tampil apapun alasannya. Nggak mungkin kan penyanyi tampil tanpa pengiringnya. Akustik aja, kok."

Aku mengiyakan permintaanya. Menjadi penyanyi untuk pernikahan orang yang suka dari dulu. Terdengar menyedihkan, bukan?

*

Aku sedang menggantungkan handuk bekas mengeringkan rambut saat menemukan Cindy di meja cermin dekat rak kecil, tempat aku menyimpan semua buku, sukulen, dan boneka. Dia memegang sebuah buku dan duduk.

"Nyari apa, Dy?"

"Bukumu. Kayaknya yang ini, dulu aku ada ngerekam lirik lagu di hp. Dan liriknya aku coret-coret di bukumu."

"Lain kali dicatat," kataku. Mulai mengaplikasikan beberapa pelembab wajah.

"Catatannya terhapus. Waktu aku dengar lagi lagunya, aku ingat pernah nulis di sini. Tapi, Ra, kenapa lirik lagu yang kamu tulis temanya mirip-mirip gini, ya? Sendu-sendu patah hati, unrequited love."

Karena memang itulah yang rasakan. Pura-pura nggak acuh dengan asumsi asal Cindy. Perempuan itu masih menekuri satu per satu halaman buku catatanku. Sampai dia berhenti di sebuah halaman dan membacanya jelas.

"Aku masih buta hati, menunggu ia berbalik lagi. Ra, liriknya bagus. Melodinya udah ada? Aku mau dengar."

"Nggak."

"Kakinya terus saja pergi dan aku merenungi diri. Ra, bilang ya, kalau tebak-tebakan aku salah."

Aku nggak menjawab, hanya bergumam.

"Seseorang ini menunggu orang lain untuk melihat perasaan dia?"

"Ya," jawabku sangat pelan.

"Sejak awal dia memang nggak peduli dengan perasaan diri sendiri dan menyimpan rapat-rapat."

"Dy, kamu dan apa yang ada di kepalamu benar. Nggak usah menebak-nebak," aku berbalik dan menyadari pandanganku semakin tak jelas. Ada yang menggenang di sana. "Aku... harus apa?"

"Tuhan," Cindy memelukku erat. Kepalaku terkubur dekat rambutnya. Aku terisak. Pelukan hangat Cindy seperti mampu meruntuhkan semua rahasia yang aku simpan selama ini. "Kok bisa, sih, Ra? Kamu tahu Arka nggak sebaik itu."

"Aku aja yang bodoh, Dy. Kok bisa suka sama orang yang nggak peduli kayak Arka. Apa gara-gara aku memang udah kagum sama kalian dari dulu, ya?" Aku melepaskan pelukanku setelah perasaan agak lega.

"Dy, jaga rahasia rapat-rapat, ya? Aku lagi berusaha, kok. Janji nggak akan merusak hubungan mereka."

"Aku tahu kamu nggak sejahat itu. Kalau kamu mau, kamu punya kesempatan bertahun-tahun untuk merebut perhatian Arka." Dia mengusap kepalaku seperti adik perempuan. "Nggak habis pikir aja kok bisa-bisanya dugaan aku ternyata betul. Yang terpikir cuma kamu dulu fans kami dan sebatas kagum berlebihan." Dia membuang napas keras. "Mau-maunya lagi nyanyi lagu untuk Arka."

"Aku kan memang bodoh, Dy." Jawabku lemas. Merebahkan diri yang dengan cepat ditarik bangun oleh Cindy. "Nanti rambutnya rusak." Aku bahkan lupa baru saja keramas. Ingin cepat-cepat tidur dan lupa bahwa satu orang sudah tau rahasiaku.

"Jangan dikasih lagunya ke Harmoni kalau memang kamu nggak kuat dengan perasaan sendiri, oke?"

Aku mengangguk nurut.

"Nanti, di acaranya Arka, gimana? Kamu...." Tatapannya simpati menatapku.

"Aku nggak apa-apa. Beneran."

Dia menggenggam tanganku di paha. "Terus, besok pagi kan Minggu. Ikut aku, kita jogging, ya? Katanya, ini yang paling ampuh untuk mengobati patah hati." 

Minggu, 26 April 2020 | 10.12

Let It BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang